Wednesday, July 22, 2009

Lahirnya Brahmana Dwala

Oleh karena Mpu Galuh menghilang, Mpu bumi Sakti lalu memerintahkan Mpu Gandring Sakti untuk mencarinya. Sesudah berbulan-bulan Mpu Gandring sakti menyusuri jalan, masuk hutan, mencari ke desa-desa, namun tetap tidak berhasil menemukan Mpu Galuh. Akhirnya Mpu Gandring melakukan yoga semadi. Mohon petunjuk Ida Sang Hyang Widhi, akhirnya diberikan petunjuk, tampak dalam yoga semadi beliau Mpu Galuh berada di gunung Agung Bali.

Mpu Gandring Sakti menghentikan yoga semadinya, lalu segera berangkat ke Bali. Tidak diceritakan dalam perjalanan, pada saat matahari akan tenggelam, Mpu Gandring Sakti tiba disuatu tempat, disana Mpu Gandring Sakti beristirahat dibawah pohon randu. Tiba-tiba muncul raksasi, wajahnya sangat menyeramkan dan menankutkan, dia berteriak teriak “wahai manusia, laki laki yang rupawan, siapakah engkau gerangan, dari mana asalmu dan apa maksud kedatanganmu kemari. Aku adalah raksasi yang sangat ingin memakan daging manusia”. Mendengar teriakan raksasi tersebut, Mpu Gandring Sakti lalu mengucapkan matra Wisnu Pajaramurti, mantra itu menghilangkan sifat raksasa seseorang, sehingga raksasi itu tiba-tiba menjadi ramah. Mpu Gandring Sakti lalu mengatakan siapa dirinya serta tujuannya untuk mencari adikanya. Mendengar jawaban Mpu Gandring Sakti, raksasi tersebut lalu jatuh cinta dengan Mpu Gandring Sakti, dan ingin diperistri, dengan permohonan agar Mpu Gandring Sakti memberinya seorang anak sebagai penyupatan dosa-dosanya. Mendengar hal tersebut Mpu Gandring Sakti memenuhi permintaan raksasi tersebut dengan syarat agar melepas sifat keraksasan terlebih dahulu.

Mendengar jawaban Mpu Gandring Sakti, sangat gembira hati raksasi tersebut, dan seketika berubah wajah menjadi seorang wanita yang cantik jelita. Kemudian wanita itu menjelaskan bahwa dia adalah seorang bidadari yang bernama Dyah Giri Sewaka yang dikutuk oleh dewata menajdi seorang raksasi karena melakukan suatu dosa. Kemudian Dyah Giri Sewaka mengajak Mpu Gandring Sakti ke rumahnnya. Disana Mpu Gandring Sakti tinggal beberapa hari sampai Dyah Giri Sewaka hamil. Hingga pada suatu hari Mpu Gandring Sakti mengatakan kepada istrinya Dyah Giri Sewaka, bahwa dia akan melanjutkan perjalanan mencari adiknya, sebagaimana perintah ayahandanya. Dan meminta istrinya menunggunya disini dan menjaga anak dalam kandungannya.

Akhirnya diceritakan bahwa Mpu Gandring Sakti sudah tiba di Besakih, dan dilihat adiknya Mpu Galuh sedang melakukan yiga semadi, hal itu membuat Mpu Gandring Sakti menjadi takjub dan semakin menyesali perbuatannya terdahulu. Sesudah selesai melakukan yoga semadi Mpu Galuh turun dari tempat duduknya, begitu melihat Mpu Gandring Sakti, Mpu Galuh segera menyongsong kedatangan kakaknya, dengan ramah tamah dan sopan santun menyapa, serta menyatakan kegembiraannya atas kedatangan Mpu Gandring Sakti.

Setelah dipersilakan duduk, Mpu Gandring Sakti lalu menjelaskan kedatangannya adalah mengemban tugas ayahanda. Namun kini ternyata Mpu Galuh sudah menjadi pengikut ajaran Sang Kulputih,selalu melakukan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi sebagai Siwa Budha. Om Nama Siwa Bhuda Ya. Mpu Gandring Sakti lanjut menyarankan supaya adiknya meneruskan cita-citanya yang mulia, yaitu mencapai tujuannya untuk manunggal kepada Sang Pencipta. Mendengar kata-kata Mpu Gandring Sakti tersebut, amatlah senang hati Mpu Galuh atau Dyah Kulputih.

Entah berapa lama Mpu Gandring Sakti tinggal di pasraman Mpu Galuh, lalu beliau permisi kepada adiknya untuk kembali ke pasraman Kayumanis, Madura, guna mempermaklumkan kepada ayahanndanya mengenai kabar baik tentang adiknya. Setelah cukup lama melakukan perjalanan melweati hutan belantara, samapailah Mpu Gandring Sakti di rumah istrinya Dyah Giri Sewaka, dan disambut dengan baik, sambil menggendong puteranya lakilaki yang baru beberapa pecan lahir. Mpu Gandring Sakti gembira sekali, menimang nimang puteranya, kemudian memberitahu istrinya tentang hasil perjalanannya. Lalu mengatakan bahwa beliau harus segera kembali ke Madura menyampaikan kabar baik ini. Dijawab oleh istrinya bahwa ia tidak mungkin ikut ke Madura dan akan menyerahkan puteranya untuk ikut ke Madura sebagai ganti atau bukti pengganti jiwanya. Puteranya itu kemudian diberi nama Brahmana Dwala.

Pada hari yang telah ditentukan untuk berangkat ke Madura, Mpu Gandring Sakti menggendong Brahmana Dwala. Kepada puteranya, Dyah giri Sewaka berucap, “anakku semoga engkau panjang usia, menurunkan pratisentana baik, dan dalam perjalananmu di hutan rimba tidak mendapat bahaya, begitu juga di kuburan, di sungai dan di laut tidak dihadang oleh mahluk jahat dan buas. Aku ibumu akan segera kemabali ke sorga, karena kutukan ibu sudah disupat oleh ayahmu” kemudian Dyah Giri Sewaka secara gaib hilang dari pandangan.

Adapun Mpu Gandring Sakti di dalam perjalanannya dengan menggendong puteranya melalui hutan rimba, tidak sedikit menghadapi rintangan, dan akhirnya beliau sampai di Pasaraman Kayumanis, Madura dengan selamat bersama puteranya. Setelah menghadap ayahandanya, beliau menyampaikan secara singkat hasil perjalannnya. Karena Mpu Gandring Sakti sudah tahu bahwa ayahandanya memiliki ilmu ‘duradarsana’ atau memiliki pengelihatan jauh. Mendengar laporan puteranya Mpu Bumi Sakti merasa sangat senang, karena beliau mengetahui apa maksud dan tujuan Mpu Galuh atau Dyah Kul Putih memilih jalan tersebut. Dan beliau berkeinginan untuk mendatangi pasraman Mpu Galuh di Besakih Bali.

Kemudian diceritakan bahwa Mpu Bumi Sakti memanggil Mpu Gandring Sakti, lalu berkata bahwa tugasnya sudah selesai di dunia fana ini, dan akan segera kemabli ke sorga. Setelah berkata tersebut Mpu Bumi Sakti secara tiba-tiba lenyap dari pandangan (moksa). Tinggalah Mpu Gandring Sakti bersama Brahmana Dwala.

Adapun Brahmana Dwala diceritakan sekarang sudah beranjak dewasa, beliau terkenal dalam hal melaksanakan pekerjaan Pande dan mengarang syair. Pada suatu hari Brahmana Dwala pergi ke Gunung Indrakila mengunjungi ayahandanya yang sejak lama melakukan tapa brata disana, memuja Dewa Hyang Agni. Disana Brahmana Dwala melihat ayahandanya sedang melakukan pranayama, Mpu Gandring Sakti dalam keadaan kurus karena melakukan brata makan dan minum, melihat hal itu timbul kasihat dihati Brahmana Dwala, bahkan sampai meneteskan air mata, bahkan sampai timbul niat beliau untuk ikut ayahandanya ke sorga meninggalkan bumi ini. Lalu Brahmana Dwala ikut duduk melakukan yoga semadi disamping ayahandannya. Setelah beberapa saat, tiba tiba dari angkasa berjatuhan bunga yang sangat harum semerbak disertai wedamantra dan sesat tampak roh suci Mpu Saguna atau Mpu patih Jayaberdiri didepan Brahmana Dwala, kemudian bersabda “Wahai cucuku Dwala, dengarkanlah baik-baik, aku datukmu Mpu Saguna atau Mpu Patih jaya, dan aku acapkali datang di Pura Penataran pande di Besakih, jangan sekali-kali engkau lupa kepada kawitan di Besakih sampaikan kepada anak cucu dikemudian hari.

Apabila engkau sungguh sungguh melakukan kewajiban Pande, harus dipelajari Dharma Kapandean seperti Mpu Bumi Sakti leluhurmu, begitu pula mengenai pekerjaan membuat senjata tajam, harus mengetahui ilmu ‘Batur Kamulan’ terutama tentang ajaran ‘Panca Bayu’. Yang dimaksud Panca Bayu adalah prana, apana, samana, udana dan byana. Dalam melaksanakan Dharma Kapandean, harus mengetahui tangan sebagai palu, jari tangan sebagai penjepitnya. Dan harus dapat melepaskan ‘asta candhala’ dari diri pribadi, itulah pantangan-pantangan yang harus diketahui, dan ditaati dalam melakukan tugas Kapandean. Kecuali itu ada lagi pantangan-pantangan, yaitu tidak boleh makan keleketu (dedalu/laron), ikan pinggulan (deleg/gabus) dan buah kaluwih (timbul). Selanjutnya apabila ayahmu Mpu Gandring Sakti meninggal dunia, tidak perlu dibuatkan upacara apa-apa lagi, karena ia sudah sempurna baik jiwa maupun raganya, dan jangan dimohonkan tirta pandita brahamana lagi, karena dikhawatirkan Pandita Brahmana itu belum sempurna, yang mengakibatkan atma ayahandamu jatuh ke neraka.

Kecuali itu harus kamu ketahui ‘kamandaka carita’”, demikian antara lain sabda roh suci Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya terhadap Brahmana Dwala, lalu Brahmana Dwala menyembah sambil berkata “ya datuk Pandita, seakan-akan mendapat tirta kamandalu rasanya”. Semua sabda Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya itu diingat oleh Brahmana Dwala, lalu beliau berjanji akan selalu taat mengikuti sabda arwah suci Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya sebagai leluhurnya, dan akan diteruskan keapda sanak keluarga dan keturunannya nanti. Jangan sampai ada sanak keluarga dan pratisantananya yang melanggar atau tidak mengikuti seperti sabada roh suci Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya.

Dikutip dari buku: Prasati dan Babad Pande
Karya: Pande Made Purnajiwa
Tahun 2003

Sunday, July 12, 2009

Dalem Gelgel berguru kepada Mpu Bumi Sakti

Dalem Gelgel , Dalem Ktut Ngelesir yang bergelar Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan pada tahun Isaka 1320 (1380 M), setelah kembali dari menghadiri upacara pitra yadnya Patih Madhu di Madura, selalu terkenang dengan kemampuan Mpu Bumi Sakti yang memuja dan muput yajna tersebut. Beliau ingin menyucikan diri melalui upacara pudlaga (dwijati). Lalu Dalem mengirim utusan ke Madura, yaitu seorang dari warga Pasek Gelgel yang bernama Pasek Beya, keturunan dari Ki Gusti Pasek Gelgel dari Banjar Pegatepan Desa Gelgel. Setibanya di Pasraman Kayumanis Madura, lalu disapa oleh Sira Mpu Bumi Sakti dengan sopan santun dan ramah tamah, semabari menanyakan siapa nama, dari mana dan apa keperluannya. Selanjutnya Ki Pasek Beya menyatakan sebagai utusan Dalem Gelgel agar Sira Mpu berkenan dating ke Bali untuk menjadi guru Dalem gelgel, karena Beliau sangat kagum dengan kemampuan Sira Mpu yang dibuktikan ketika mupu upacara pitra yajna Patih madhu dahulu, dimana ketika itu Dalem gelgel ikut hadir menyaksikan. Kemudian Sira Mpu Bumi Sakti mengatakan bahwa beliau masih berkerabat dengan Ki Pasek Beya, karena beraal dari leluhur Bhatara Kawitan yang sama.

Sira Mpu Bumi Sakti mengatakan bahwa beliau bersedia memenuhi keinginan Dalem gelgel, namun beliau bertangguh karena akan mencari hari yang baik untuk berangkat ke Gelgel dan mempersilakan Ki Pasek Beya berangkat terlebih dahulu ke Bali. Sesudah mpohon diri Ki pasek Beya akhirnya kembali ke Bali dan dengan selamat tiba di Gelgel dan segera melapor kepada Dalem Gelgel hasil perjalanannya ke Pasraman Kayumanis Madura.

Selang beberapa minggu kemudian Sira Mpu Bumi Sakti berangkat dari Pasraman Kayumanis Madura menuju Bali. Entah berapa lama dalam perjalanan, pada suatu hari Sira Mpu tiba di gunung Agung. Sira Mpu sangat takjub melihat cahaya gemerlap di atas padmasana manic, lalu Sira Mpu melakukan persembahyangan yang ditujukan kepada Bhatara Tohlangkir. Kemudian terdengar sabda gaib yang dating dari cahaya padmasana manik, yang menanyakan madksud dan tujuan Sira Mpu dating kesini. Dijawab oleh Sira Mpu bahwa kedatangannya atas undangan Dalem Gelgel yang ingin menyucikan diri melalui upacara pudlaga. Kemudian sabda itu bertanya lagi, apakah Sira Mpu mengetahui ada apa ditelapak tangan kanan Bhatara, apabila Sira Mpu mampu menjawabnya barulah boleh menyucikan Dalem Gelgel, seketika tampak sebuah tangan dihadapan beliau. Sira Mpu minta ijin untuk menjawab bahwa yang ada ditelapak tangan kanan itu adalah ‘Panca Brahma’ . Lagi pertanyaan, dimanakah tangan kanan itu harus dipukulkan, dijawab oleh Sira Mpu bahwa beliau tidak berani mengatakannya. Tiba-tiba cahaya dan tangan itu hilang seketika.

Sira Mpu mohon diri kepada Bhatara Tohlankir serta melanjutkan perjalanan ke Gelgel. Tidak diceritakan dalam perjalanan, akhirnya Sira Mpu tiba di Gelgel dan diterima dengan baik oleh Dalem Gelgel, Sri Smara Kepakisan. Kemudian dipersilakan duduk sejajar dengan Dalem. Disana Sira Mpu kembali menanyakan maksud Dalem mengundang Sira Mpu ke Gelgel. Dijawab oleh Dalem bahwa Dalem ingin menyucikan diri seperti leluhurnya terdahulu. Sira Mpu sangat mendukung niat Dalem, karena Dalem adalah keturunan seorang brahmana, yang bersumber dari satu kawitan dengan Sira Mpu dan Pasek. Setelah menyelesaikan permintaan Dalem Gelgel, entah berapa lama Sira Mpu tinggal di Gelgel, akhirnya kembali ke Pasraman Kayumanis Madura.

Kemudian diceritakan Sira Mpu Bumi Sakti berputra dua orang laki dan perempuan, yang sulung laki laki bernama Brahma Rare Sakti dan adiknya perempuan bernama Diah Kencanawati. Adapun Brahma Rare Sakti sangat pandai seperti ayahnya, dan beliau diberi gelar Mpu Gandring Sakti (bukan yang wafat ditikam Ken Arok). Sedangkan Dyah Kencanawati memiliki sifat sifat seperti Bhatari Uma, pandai dalam hal weda serta gemar melakukan tapa brata kemudian diberi gelar Mpu Galuh. Setelah cukup umur Mpu Bumi Sakti menganugerahkan pusaka bertuah kepda kedua putranya. Mpu Gandring Sakti diberikan cincin emas bermatakan manic bang, yang bertuah dalam tugas Mpu Gandring Sakti membuat senjata dan benda benda tajam. Sedangkan kepada Mpu Galuh diberikan cincin dengan permata ratna cempaka, sebab beliau menguasi ilmu Kusumadewa. Itulah anugerah Mpu Bumi Sakti kepada anak-anaknya.

Setelah pemberian itu, lama kelamaan timbul rasa iri hati pada diri Mpu Gandring Sakti dan kurang senang dengan cincin pemberian ayahandannya, karena cincin tersebut dianggap tidak bertuah dan tidak berguna baginya. Lalu timbul rasa sakit hati kepada adiknya, yang dianggap tidak pantas memiliki cincin dengan permata ratna cempaka itu. Kemudian Mpu Gandring Sakti memanggil adiknya serta mengatakan, karena Mpu galuh masih muda, jadi belum boleh memiliki cincin itu, dan sebaiknya cicin itu diserahkan kepada beliau (Mpu Gandring Sakti). Namun Mpu galuh menolak permintaan itu. Walaupun berkali kali diminta tetap saja Mpu Galuh menolak. Akibatnya Mpu Gandring Sakti sangat marah lalu menganiaya adiknya. Kendatipun demikian Mpu Galuh yang memiliki sifat tenang dan taat pada ajaran agama, tidak mau mengadakan perlawanan tetapi juga tetap mau menyerahkan cincin permata mirah cempaka tersebut. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka pada suatu malam, secara sembunyi-sembunyi Mpu Galuh meninggalkan pasraman Kayumanis menuju gunung Renggakusuma, disana beliau melakukan tapa brata. Pada saat itu kebetulan Hyang Mahadewa sedang bersenang-senang disana, dan melihat Mpu Galuh melakukan tapa brata, kemudian didekati dan menanyakan siapa nama, dan mengapa melakukan tapa brata di hutan belantara. Dijawab oleh Mpu Galuh, bahwa bahwa beliau adalah seorang brahmani dari paasraman Kayumanis, anak dari Bhagawan Pandeya Mpu Bumi Sakti, dan melakukan tapa brata untuk melepaskan diri dari kehidupan duniawi guna mencapai sorga bila meninggal dunia. Kemudian bersabda Hyang Mahadewa “Wahai Mpu Galuh kamu adalah seorang wanita brahmani uttama, gunawan dan ahli dalam ajaran dan filsafat, sekarang aku perintahkan kamu agar pergi ke gunung Agung di Bali, disanalah pasramanku”.

Lanjut Hyang Mahadewa “Disana engkau supaya menggantikan kedudukan brahmana Sang Kulputih selaku pelayan disana, karena Sang Kulputih sudah tua dan akan segera kembali ke akhirat”. Mpu Galuh member hormat dan mengikuti perintah Hyang Mahadewa, berangkat dari gunung Renggakusuma ke pulau Bali.

Tidak diceritakan dalam perjalananMpu Galuh telah sampai di gunung Agung, disana Mpu galuh mengabdi kepada Hyang Mahadewa di Pura Besakih. Setiap hari melakukan persembahyanngan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa seperti yang dilakukan oleh Sang Kulputih terdahulu. Sejak saat itu Mpu Galuh diberi gelar Dyah Kulputih. Setiap hari Mpu Galuh memepersiapkan sesajen untuk persembahyangan dan selalu dibantu oleh seekor kera putih binatang piaraan Hyang Mahadewa.

Dikutip dari buku: Prasati dan Babad Pande

Karya: Pande Made Purnajiwa
Tahun 2003

Sunday, July 5, 2009

KETURUNAN MPU DWIJENDRA atau MPU RAJAKERTHA


Adapun Mpu Dwijendra atau Mpu Rajakertha berputra 3 orang laki-laki, masing masing bernama Gagakaking, Bukbuksah dan Mpu Brahma Wisesa atau Mpu Gni. Kemudian Mpu Brahma Wisesa berputra 2 orang laki-laki, masing-masing bernama Mpu Gandring tinggal di Lalumbang dan Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya.

Apa sebab disebut Mpu Gandring, sebab tugas atau pekerjaan beliau ‘angandring’ yaitu ahli membuat senjata dan barang/benda tajam lainnya. Mpu Gandring wafat ditikam oleh Ken Arok raja Singasari (1220-1227), dengan keris buatannya sendiri, sebab Mpu Gandring dalam membuat keris tersebut tidak memenuhi ‘catur dharma krya’.

Seterusnya Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya berputra Mpu Tusan, Mpu Lumbang, Mpu Galuh dan Mpu Gandu. Mpu Tusan menurunkan Pande Tusan. Mpu Galuh berputra seorang laki-laki bernama Mpu Brahmaraja.

Adapun Mpu Brahmaraja (pada pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit 1350-2389) sangat terkenal, sering melakukan tapa brata, dan banyak orang dating ke pasaramannya di Silasanyane Madura mohon nasehat dan ajaran ajaran terutama yang berkaitan dengan kadyatmikan, kerohanian serta memohon beliau muput yajna yang disleenggarakan.

Diantaranya seorang patih kerajaan Madura bernama Patih Madhu dating menghadp Mpu Brahmaraja, mohon agar Sira Mpu berkenan memuja dan muput upacara pitrayajna yang akan diselenggarakan bagi leluhurnya. Mpu Brahmaraja memenuhi permohonan Patih Madhu dan berhasil baik serta selesai tuntas, tidak kurang suatu apapun. Seusai upacara pitrayajna itu Patih Madhu ingin mengetahui hasil daripada upacaranya itu, lalu ia bertanya kepada Mpu Brahmaraja, kepada siapa masalah itu harus ditanyakan. Diberitahu oleh Mpu Brahmaraja agar patih Madhu menanyakan kepada benda-benada yang ada dihadapan beliau. Benda yang ada dihadapan beliau adalah laying-layang, maka Patih Madhu bertanya kepada laying-layang tersebut, apakah upacara pitrayajna yang baru dilaksanakan sudah memenuhi syarat atau belum, dan bagaimana nasib para leluhurnya yang diupacarai itu. Tiba-tiba laying laying tersebut mengeluarkan suara, lalu menjawab bahwa upacara yang diselenggarakan oleh Patih Madhu tersebut sudah berhasil dengan baik, karena sudah memenuhi syarat dan seluruh arwah suci leluhurnya sudah memperoleh tempat yang baik di sorga. Namun Patih Madhu belum puas akan jawaban laying-layang tersebut, lalu ia bertanya kepada batu, pohon-pohonan dan sebagainya, dan ia mendapatkan jawaban yang sama dengan yang dijawab laying-layang. Para tamu, termasuk Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang juga hadir pada upacara tersebut merasa sangat takjub terhadap kemampuan Mpu Brahmaraja dan sejak saat itu Mpu Brahmaraja diberi gelar Bhagawan Pandya Mpu Bhumi Sakti (sekitar tahun 1380 M).

Setelah upacara Patih Madhu selesai, para tamu kembali ketempatnya masing-masing, sedangkan Mpu Brahmaraja atau Bhagawan Pandya Mpu Bhumi Sakti beberapa hari kemudian baru meninggalkan tempat upacara, dansesudah minta diri, sendirian beliau berjalan menyusuri jalan setapak. Tiba ditepi sebuah kuburan, di tengah perjalanan tersebut, beliau bertemu dengan seorang anak gembala yang sedang menangis. Melihat keadaan anak tersebut timbul rasa kasihan dihati beliau, lalu bertanya kepada anak itu, mengapa ia menangis. Dijawab oleh anak itu bahwa gigi bajaknya patah akibat mengenai batu,nanti bila ayahnya tiba, pasti ia akan dimarahi. Mpu Brahmaraja berkata, bahwa janganlah merasa takut atau waswas, karena gigi bajak tersebut akan diperbaiki. Mendengar perkataan Mpu Brahmraja, anak tersebut sangat senang seraya menyerahkan gigi bajak yang patah untuk diperbaiki.

Mpu Brahmaraja sebagai seoang keturunan Bhatara Brahma dengan tingkat ilmu yang tinggi, lalu memusatkan pikiran dan tenaga serta kekuatan gaibnya melakukan yoga semadi. Lalu tiba tiba dari mata kanan keluar api yang menyala nyala jatuh tepat dihadapan beliau, dari hidung kiri keluar angin yang kencang, sedangkan hidung kanan tmpat masuknya angin. Adapun tangan kanan sebagai palu dan paha sebagai landasan, jari jari tangan sebagai jepitan dan air keringat sebagai untuk mendinginkan besi yang panas. Setelah mata bajak selesai diperbaiki, terlihat seperti semula, lalu diserahkan kepada anak gembala tadi. Anak itu menerimanya dengan senang sekali, sambil mengucapkan terimakasih, kemudian Mpu Brahmaraja melanjutkan perjalanannya.

Tidak diceritakan dalam perjalanan, kemudian beliau tiba di Aksobya, Pasraman Panditha Bhudda Bhairawa bernama Mpu Asthapaka. Ketika Mpu Brahmaraja tiba disana, dijumpai Mpu Asthapaka sedang memuja Hyang Amoghasidhi. Dalam pemujaan itu Mpu Asthapaka mempergunakan swambha (tempat air suci) dari tengkorak manusia, bersemayur usus besar, bertajuk bunga hati, berbaju kulit harimau. Setelah selesai melakukan puja, Mpu Asthapaka melihat Mpu Brahmaraja sedang berdiri dibawah pohon kepuh, lalu dilambai tangan supaya mendekat. Kemudian Mpu Asthapaka bertanya, siapa namanya, darimana asalnya dan hendak kemana serta apa tujuannya. Dijawab oleh Mpu Brahmaraja bahwa tujuan kedatangannya untuk berguru kepada Mpu Asthapaka. Mpu Asthapaka mengatakan sangat bahagian dengan kedatangan Mpu Brahmaraja, lalu mengatakan ingin memperoleh ilmu juga dari Mpu Brahmaraja, dengan menyampaikan pertanyaan, dari mana keluarnya api, dimana tempatnya angin, apa yang dipergunakan sebagai palu dan landasan pada saat mengerjakan pekerjaan Pande.

Mpu Brahmaraja dengan rendah hati mengatakan, akan memperlihatkan jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Lalu duduk bersila menyatukan pikiran, tiba tiba keluar api dari mata kanan, keluar angin dari kedua lubang hidung, kemudian ada anugrah dari para Dewa berupa emas dan perak, lalu Mpu Brahmaraja berputar tiga kali, emas dan perak telah berubah menjadi bhusana dan perhiasan untuk Mpu Asthapaka. Disana Mpu Asthapaka sangat kagum dengan kemampuan Mpu Brahmaraja. Kemudian Mpu Asthapaka menyerahkan putrinya yang bernama Dyah Amrtatma untuk diperistri oleh Mpu Brahmaraja. Selama tinggal di Aksobya Mpu Brahmaraja membangun sebuah purtha histha, yaitu sebuah kolam dengan pancuran dan balai pemujaan untuk memuja Hyang Eka Agni, Tryagni dan Kundagni. Sesudah cukup lama tinggal disana Mpu Brahmaraja dan Dyah Amrtatma meninggal Aksobya kembali ke Madura dan membangun sebuah pasraman yang diberi nama Pasraman Kayumanis.

Dikutip dari buku: Prasati dan Babad Pande

Karya: Pande Made Purnajiwa

Tahun 2003

Wednesday, July 1, 2009

Jati Diri "Bali Dalam Keadaan Labil"

Pada jaman bahari Pulau Bali dan Lombok masih sunyi senyap, situasi dan kondisinya labil seakan akan mengambang ditengah lautan luas, diibaratkan seperti sebuah perahu tanpa pengemudi, oleng berlayar kesana kemari tidak menentu arahnya. Keadaan pulau Bali dan Lombok selalu bergoyang, kadang kadang rapat menjadi satu dan tidak jarang terpisah. Kejadian ini mendapat perhatian serius dari Bhatara Hyang Pasupati, menyebabkan Beliau kasihan dan iba hatinya melihat keadaan pulau Bali dan Lombok yang demikian. Ketika itu Beliau mengadakan penelitian untuk mengetahui factor penyebabnya, dan diketahui akibat letak gunung-gunungya tidak simetris pulau Bali dan Lombok tersebut selalu goyang. Oleh Bhatara Hyang Pasupati lalu dirinci dan ketika itu di Bali terdapat 4 gunung, yaitu disebelah timur gunung Lempuyang; disebelah selatan gunung Andakasa; disebelah barat gunung Batukaru dan disebelah utara gunung Beratan. Untuk menstabilkan pulau Bali dan Lombok tersebut, lalu Bhatara Hyang Pasupati memotong puncak gunung Semeru di jawa Timur kemudian dibawa ke pulau Bali dan Lombok.

Guna membawa potongan puncak gunung Semeru, oleh Bhatara Hyang Pasupati dititahkan Sang Badawangnala sebagai dasar bumi, sang Ananthaboga dan sang Naga Basukih sebagai pengikatnya dan sang Naga Taksaka ditugaskan untuk menerbangkan potongan puncak gunung Semeru tersebut. Tatkala menerbangkan potongan puncak gunung tersebut, ada bagian bagian yang tercecer, yang terkecil menjadi gunung Lebah (gunung Batur) sedangkan bagian terbesar menjadi menjadi gunung Tohlangkir (gunung Agung), sehingga sejak saat itu di pulau Bali terdapat terdapat sad pralinggagir (enam buah gunung sebagai parahyangan). Potongan gunung Semeru itu dibawa ke Bali pada hari Kamis Umanis wara Merakih, panglong ping 15, sasih Karo, tenggek 1, rah 1, candra sengkala Eka Tang Bhumi atau Isaka 11 (bulan Agustus Tahun 89). Kemudian sesudah 70 tahun lamanya, pada hari Jumat Kliwon wara Tolu, sasih Kalima, pananggal ping 5, rah Tenggek 13 (bulan Nopember) turun hujan disertai gempa bumi hebat selama dua tahun, yaitu tahun Isaka 113 (191 M), lagi meletus gunung Agung tersebut.

Kemudian diutus Bhatara Putranjaya, Dewi Danuh dan Bhatara Gnijaya ke Bali oleh Bhatara Hyang Pasupati, sebagai junjungan rakyat Bali. Tidak diceritakan dalam perjalanan, tiba-tiba sampai di Besakih, kemudian Dewi Danuh berparahyangan di Gunung Batur, Bhatara Putranjaya atau disebut juga Bhatara Hyang Mahadewa berparahyangan di Gunung Agung, Bhatara Gnijaya berparahyangan di gunung Lempuyang. Beliau bertiga disebut Bhatara Hyang Tri Purusa. Pada waktu akan berangkat ke Bali Bhatara Hyang Pasupati berpesan : “Kamu Mahadewa, Danuh dan Gnijaya, aku perintahkan kamu segera berangkat ke Bali, agar menjadi aman dan tenang keadaan di pulau Bali dan disana kamu menjadi junjungan atau pimpinan nanti” demikian sabda Bhatara Hyang Pasupati.

Mendapat perintah demikian dari ayahNya, lalu Bhatara Hyang Tri Purusa menjawab: “Ya , Hyang Bhatara, oleh karena kami masih anak-anak, belum tahu jalan yang harus dilalui. Dijawab oleh Hyang Bhatara Pasupati : “anakku bertiga jangan susah hati, akan kutunjukan jalan, sebab kalian adalah anak anakku, berdoalah supaya kamu selamat dan segera tiba di Bali untuk dipuja disana”. Kemudian Bhatara Tri Purusa dimasukan kedalam ‘bungkak nyuh gading’ oleh Bhatara Pasupati, dan atas ketinggian bathinnya dikirim ke Besakih.

Kemudian menyusul Bhatara Tri Purusa, tiba di Pulau Bali, Bhatara Hyang Catur (empat Bhatara) juga putra Bhatara Hyang Pasupati, maka atas perintah beliau, maka Bhatara Hyang Catur, yang terdiri dari Bhatara Hyang Tumuwuh berparahyangan di gunung Batukaru, Bhatara Hyang Manik Gumawang berparahyangan di gunung Beratan, Bhatara Hyang Manik Galang berparahyangan di Pejeng dan Bhatara Hyang Tugu berparahyangan di gunung Andakasa. Demikian ikhwal tibanya Sapta Bhatara di pulau Bali pada jaman bahari.

Kemudian pada hari Selasa Kliwon, wara Julungwangi, sasih Karo, pananggal ping 1, rah 8, tenggek 1 tahun Isaka 118 (Agustus 196 M), Bhatara Hyang Mahadewa dan Bhatara Hyang Gnijaya melakukan yoga semadhi. Ketika itu meletus lagi gunung Agung tersebut, dan dari yoga semadhinya Bhatara Hyang Gnijaya banjir api, dan kemudian tempat mengalirnya banjir api tersebut dinamai Embah Api. Dari kekuatan bhatin dan panca bayunya Bhatraa Hyang Gnijaya lahir empat putra, yang sulung bernama Mpu Withadarma alias Sri Mahadewa, yang kedua SangHyang Siddhi Mantra Sakti, yang ketiga Sang Kulputih dan yang bungsu tidak disebutkan namanya kemudian menjadi raja di Madura.

Di dalam lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul, disebutkan bahwa atas perintah SangHyang Parameswara yang tidak lain adalah Bhatara Hyang Pasupati kepada putra-putranya para Dewata sekalian, terutama kepada SangHyang Gnijaya Sakti atau Bhatara Gnijaya. Perintah itu menyebutkan “…wahai anakku sekalian, kamu kuperintahkan ke Bali, agar menjadi tentram pulau Bali tersebut, dan disana kamu menjadi penguasa dan junujungan rakyat disana. Untuk tempat tinggal kamu boleh memilih gunung sebagai tempat tinggalmu, dan disana supaya kamu membangun kahyangan. Sebab di Bali sekarang sudah ada beberpa buah gunung. Adanya gunung tersebut tidak lain berkat yogaKu dahulu, dengan membawa gunung-gunung tersebut dari India, gunung yang bernama gunung Mahameru, aku potong dipertengahan sampai puncaknya, lalu Aku bawa menjadi beberapa bagian besar-kecil, sesudah aku letakkan menjadi gunduk-gunduk , kemudian menjadi gunung yang terdapat dibagian pegunungan, akibatnya menjadi tenang dan tidak bergoyang lagi pulau Bali tersebut.

Disana kamu nanti jumpai gunung terbesar yang disebut gunung Agung, terletak dibagian timur laut pulau Bali, diibaratkan gunung tersebut sebagai gunung emas berpuncak manic, berdasarkan ratna inten, berbatu mirah, berpasir podi, itulah bekas puncaknya gunung Mahameru. Potongan gunung Mahameru dulunya aku bagi menjadi tiga bagian, yang sebagian menjadi gunung Batur (gunung Lebah) sebagai dapurnya Hyang Gni, pada bagian bawahnya. Dan pada bagian bawahnya dari potongan gunung Mahameru tersebut aku jadikan gunung Rinjani di pulau Lombok, sedangkan puncaknya Aku jadikan gunung Agung disebut Hyang Tohlangkir. Dan apabila sekarang dihitung gunung-gunung tersebut dari bagian timur akan dijumpai gunung Tasashi, gunung pangalengan, gunung Mangu, gunung Silanjana, gunung Beratan, gunung Batukaru, gunung Nagaloka, gunung Pulaki, sebelah tenggaranya terdapat gunung Puncaksangkur, bukit Rangda, Teratebang, dan disebelah timur ada lagi terdapat gunung Padangdaawa. Di pantai selatan akan dijumpai gunung Andakasa, gunung Huluwatu dan terus ke timur disebelah tenggara terdapat gunung Bhyaha, gunung byamuntig dan selanjutnya terdapat gunung Seraya, begitulah banyaknya gunung-gunung yang mengitari pulau Bali, yang berjumlah 18 gunung dan masih banyak gundukan yang terdapat ditengah tengah tengah gunung tersebut di pulau Bali, yang tidak disebutkan namanya. Semua gunung itu, anakku boleh memilihnya dan kemudian dipergunakan sebagai tempat tinggal serta disana membangun parahyangan para Dewata sekalian, sebagai junjunganorang-orang Bali samapai kelak dikemudian hari. . .”. Demikian ikhwal tiba dan berdirinya parahyangan para Bhatara Hyang atau Dewata di pulau Bali. Selanjutnya para Bhatara Hyang atau Dewata tersebut berparahyangan di beberapa buah gunung dan tempat suci lainnya yang disebut terdahulu.

Adapun Mpu Withadharma alias Sri Mahadewa berputra dua orang laki-laki, masing-masing bernama Mpu Bajrasatwa atau Mpu Wiradharma dan Mpu Dwijendra atau Mpu Rajakertha. Kemudian Mpu Bajrasatwa berputra seorang laki-laki bernama Mpu Tanuhun alias Mpu Lampitha. Seterusnya Mpu Tanuhun atau Mpu Lampitha berputra 5 orang laki-laki, yang sulung bernama Brahmana Pandita atau Mpu Ketek, yang kedua bernama Mpu Semeru, yang ketiga bernama Mpu Gana, yang keempat bernama atau Mpu Kuturan atau Mpu Rajakertha, dan yang bungsu bernama Mpu Bradah atau Mpu Pradah. Mereka ini disebut dengan Panca Pandita atau Panca Tirta atau Panca Dewata, lahir di Bali, kemudian kembali ke Gunung Semeru di Jawa Timur untuk melakukan yoga semadhi memuja leluhurnya yakni Bhatara Hyang Pasupati.

Sedangkan dari yoga semadhi Bhatara hyang Putranjaya atau Bhatara Hyang Mahadewa lahir dua orang putra laki perempuan yaitu Bhatara Gana dan Bhatari Dewi Manikgeni, kemudian mereka juga kembali ke gunung Semeru melakukan yoga semadhi. Kemudian Bhatari Manikgeni kawin dengan Sang Brahmana Pandita, dan sesudah di pudlaga (dwijati) Sang Brahmana Pandita bergelar Mpu Gnijaya.

Dari perkawinan ini, Mpu Gnijaya berputra 7 orang laki-laki, masing-masing bernama Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadarma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka semuanya bertempat tinggal di Kuntuliku Jawa Timur. Mereka ini lazim disebut dengan Sapta Pandita atau Sapta Rsi dan selanjutnya menurunkan warga Pasek ( Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) di Bali.

Mpu Semeru atau Mpu Mahameru menjalani kehidupan ‘nyukla brahmacari’ yaitu tidak kawin seumur hidup. Namun demikian dari ketinggian batinnya berhasil menciptakan ‘putra dharma’ kemudian setelah dipudlaga putra tersebut bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Kamreka menurunkan warga Catur Sanak yaitu warga Kayu Selem, Celagi, Tarunyan dan Kayuan.

Mpu Ghana juga menjalani kehidupan ‘nyukla brahmacari’ sebab itu beliau tidak mempunyai keturunan.

Adapun Mpu Kuturan atau Mpu Rajakertha menjalani kehidupan ‘sewala brahmacari’ artinya selama hidupnya kawin hanya sekali, sebab ketika di Jawa, Mpu Kuturan pernah bertahta sebagai raja di Girah. Sesudah kawin beliau berputra seorang perempuan bernama Dyah Ratna Manggali, kemudian akibat perbedaan pendapat didalam mengamalkan ilmu, maka istri dan anaknya ditinggal di Jawa, istrinya dijuluki ‘walu atau rangda natheng girah’ artinya ‘janda raja Girah”

Sedangkan Mpu Bradah alias Mpu Pradah bertempat tinggal di Lemahtulis, Pajarakan Jawa Timur dan selanjutnya menurunkan warga brahmana siwa dan budha, para arya, yaitu Arya Sidemen, Arya Kuda Panolih atau Arya Kuda Pangasih, Arya Pinatih dan Arya Wayabya dengan berbagai gelar dan sebutan. Disamping itu keturunan Mpu Bradah disebut warga Satrya, Trah Dalem Klungkung, Para Gotra Santana Dalem Tarukan (sekar, pulasari, bebandem, balangan, belayu dan Dangin).

Dikutip dari buku: Prasati dan Babad Pande
Karya: Pande Made Purnajiwa
Tahun 2003