Adapun Mpu Dwijendra atau Mpu Rajakertha berputra 3 orang laki-laki, masing masing bernama Gagakaking, Bukbuksah dan Mpu Brahma Wisesa atau Mpu Gni. Kemudian Mpu Brahma Wisesa berputra 2 orang laki-laki, masing-masing bernama Mpu Gandring tinggal di Lalumbang dan Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya.
Apa sebab disebut Mpu Gandring, sebab tugas atau pekerjaan beliau ‘angandring’ yaitu ahli membuat senjata dan barang/benda tajam lainnya. Mpu Gandring wafat ditikam oleh Ken Arok raja Singasari (1220-1227), dengan keris buatannya sendiri, sebab Mpu Gandring dalam membuat keris tersebut tidak memenuhi ‘catur dharma krya’.
Seterusnya Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya berputra Mpu Tusan, Mpu Lumbang, Mpu Galuh dan Mpu Gandu. Mpu Tusan menurunkan Pande Tusan. Mpu Galuh berputra seorang laki-laki bernama Mpu Brahmaraja.
Adapun Mpu Brahmaraja (pada pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit 1350-2389) sangat terkenal, sering melakukan tapa brata, dan banyak orang dating ke pasaramannya di Silasanyane Madura mohon nasehat dan ajaran ajaran terutama yang berkaitan dengan kadyatmikan, kerohanian serta memohon beliau muput yajna yang disleenggarakan.
Diantaranya seorang patih kerajaan Madura bernama Patih Madhu dating menghadp Mpu Brahmaraja, mohon agar Sira Mpu berkenan memuja dan muput upacara pitrayajna yang akan diselenggarakan bagi leluhurnya. Mpu Brahmaraja memenuhi permohonan Patih Madhu dan berhasil baik serta selesai tuntas, tidak kurang suatu apapun. Seusai upacara pitrayajna itu Patih Madhu ingin mengetahui hasil daripada upacaranya itu, lalu ia bertanya kepada Mpu Brahmaraja, kepada siapa masalah itu harus ditanyakan. Diberitahu oleh Mpu Brahmaraja agar patih Madhu menanyakan kepada benda-benada yang ada dihadapan beliau. Benda yang ada dihadapan beliau adalah laying-layang, maka Patih Madhu bertanya kepada laying-layang tersebut, apakah upacara pitrayajna yang baru dilaksanakan sudah memenuhi syarat atau belum, dan bagaimana nasib para leluhurnya yang diupacarai itu. Tiba-tiba laying laying tersebut mengeluarkan suara, lalu menjawab bahwa upacara yang diselenggarakan oleh Patih Madhu tersebut sudah berhasil dengan baik, karena sudah memenuhi syarat dan seluruh arwah suci leluhurnya sudah memperoleh tempat yang baik di sorga. Namun Patih Madhu belum puas akan jawaban laying-layang tersebut, lalu ia bertanya kepada batu, pohon-pohonan dan sebagainya, dan ia mendapatkan jawaban yang sama dengan yang dijawab laying-layang. Para tamu, termasuk Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang juga hadir pada upacara tersebut merasa sangat takjub terhadap kemampuan Mpu Brahmaraja dan sejak saat itu Mpu Brahmaraja diberi gelar Bhagawan Pandya Mpu Bhumi Sakti (sekitar tahun 1380 M).
Setelah upacara Patih Madhu selesai, para tamu kembali ketempatnya masing-masing, sedangkan Mpu Brahmaraja atau Bhagawan Pandya Mpu Bhumi Sakti beberapa hari kemudian baru meninggalkan tempat upacara, dansesudah minta diri, sendirian beliau berjalan menyusuri jalan setapak. Tiba ditepi sebuah kuburan, di tengah perjalanan tersebut, beliau bertemu dengan seorang anak gembala yang sedang menangis. Melihat keadaan anak tersebut timbul rasa kasihan dihati beliau, lalu bertanya kepada anak itu, mengapa ia menangis. Dijawab oleh anak itu bahwa gigi bajaknya patah akibat mengenai batu,nanti bila ayahnya tiba, pasti ia akan dimarahi. Mpu Brahmaraja berkata, bahwa janganlah merasa takut atau waswas, karena gigi bajak tersebut akan diperbaiki. Mendengar perkataan Mpu Brahmraja, anak tersebut sangat senang seraya menyerahkan gigi bajak yang patah untuk diperbaiki.
Mpu Brahmaraja sebagai seoang keturunan Bhatara Brahma dengan tingkat ilmu yang tinggi, lalu memusatkan pikiran dan tenaga serta kekuatan gaibnya melakukan yoga semadi. Lalu tiba tiba dari mata kanan keluar api yang menyala nyala jatuh tepat dihadapan beliau, dari hidung kiri keluar angin yang kencang, sedangkan hidung kanan tmpat masuknya angin. Adapun tangan kanan sebagai palu dan paha sebagai landasan, jari jari tangan sebagai jepitan dan air keringat sebagai untuk mendinginkan besi yang panas. Setelah mata bajak selesai diperbaiki, terlihat seperti semula, lalu diserahkan kepada anak gembala tadi. Anak itu menerimanya dengan senang sekali, sambil mengucapkan terimakasih, kemudian Mpu Brahmaraja melanjutkan perjalanannya.
Tidak diceritakan dalam perjalanan, kemudian beliau tiba di Aksobya, Pasraman Panditha Bhudda Bhairawa bernama Mpu Asthapaka. Ketika Mpu Brahmaraja tiba disana, dijumpai Mpu Asthapaka sedang memuja Hyang Amoghasidhi. Dalam pemujaan itu Mpu Asthapaka mempergunakan swambha (tempat air suci) dari tengkorak manusia, bersemayur usus besar, bertajuk bunga hati, berbaju kulit harimau. Setelah selesai melakukan puja, Mpu Asthapaka melihat Mpu Brahmaraja sedang berdiri dibawah pohon kepuh, lalu dilambai tangan supaya mendekat. Kemudian Mpu Asthapaka bertanya, siapa namanya, darimana asalnya dan hendak kemana serta apa tujuannya. Dijawab oleh Mpu Brahmaraja bahwa tujuan kedatangannya untuk berguru kepada Mpu Asthapaka. Mpu Asthapaka mengatakan sangat bahagian dengan kedatangan Mpu Brahmaraja, lalu mengatakan ingin memperoleh ilmu juga dari Mpu Brahmaraja, dengan menyampaikan pertanyaan, dari mana keluarnya api, dimana tempatnya angin, apa yang dipergunakan sebagai palu dan landasan pada saat mengerjakan pekerjaan Pande.
Mpu Brahmaraja dengan rendah hati mengatakan, akan memperlihatkan jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Lalu duduk bersila menyatukan pikiran, tiba tiba keluar api dari mata kanan, keluar angin dari kedua lubang hidung, kemudian ada anugrah dari para Dewa berupa emas dan perak, lalu Mpu Brahmaraja berputar tiga kali, emas dan perak telah berubah menjadi bhusana dan perhiasan untuk Mpu Asthapaka. Disana Mpu Asthapaka sangat kagum dengan kemampuan Mpu Brahmaraja. Kemudian Mpu Asthapaka menyerahkan putrinya yang bernama Dyah Amrtatma untuk diperistri oleh Mpu Brahmaraja. Selama tinggal di Aksobya Mpu Brahmaraja membangun sebuah purtha histha, yaitu sebuah kolam dengan pancuran dan balai pemujaan untuk memuja Hyang Eka Agni, Tryagni dan Kundagni. Sesudah cukup lama tinggal disana Mpu Brahmaraja dan Dyah Amrtatma meninggal Aksobya kembali ke Madura dan membangun sebuah pasraman yang diberi nama Pasraman Kayumanis.
Dikutip dari buku: Prasati dan Babad Pande
Karya: Pande Made Purnajiwa
Tahun 2003
lanjutan nya wenten beli ...
ReplyDeletelihat di labels..
ReplyDeletecari "mencari jati diri"
semuanya ada 7 postingan
suksma