Pande Tamblingan Tidak Mau Kembali
Tugas itu diberikan kepada Mantri Ularan dan para Upapati (pembesar) lainnya untuk membujuk agar Pande Tamblingan yang masih hidup mau kembali ke wilayahnya semula. Ternyata usaha itu gagal total, karena Pande Tamblingan tetap curiga dan takut kalau-kalau mereka diperdaya, dijebak, dan kemudian dihabisi seperti yang dialami rekan-rekannya. Oleh karena itu mereka tidak mau kembali ke wilayah asalnya di Tamblingan, apalagi yang memimpin pemulangan itu adalah orang-orang ganas yang menghancur leburkan wilayah mereka dan yang membunuh rekan-rekan mereka.
Untuk itu dikeluarkanlah prasasti oleh raja Prameswara, seorang raja dari Wngker, paman dari raja Hayam Wuruk, yang ditunjuk oleh Gajah Mada sebagai Kontrolir Bali, yang bertugas selain membantu sekaligus memata-matai Raja Bali yang memerintah Bali atas nama Majapahit.
Berikut adalah transkripsi prasasti dimaksud:
”Iku surat ingong katka bahang para mantri ularan samadya, maka nguni hupatiti, hinar plahangan, deninya Pande wesi ring Tamblingan ira ana muliha mareng Tamblingan manih para mantri mahangantra makna Arya Cengceng tayo sidi gawe kang kasujiwaing Tamblingan, lawanhire hane Arya Cengceng lung ta ya ri Tamblingan hanerahin Lwa Gajah apan ingong huwushawehengwonana Arya Cengceng lawan dening pangraga sekarekan kasijiwaning Tamblingan hingong ajegaken satak salawang nengken kawolu kang atura prenalas, dening panakraning desa, ira hane malrahidepa hing rama ning Tamblingan, unusan, Pangi, Kdu, Tngah Mel. Tithi ka-3, Isaka 1306”
Terjemahan bebasnya: ”Demikianlah suratku kepada para Menteri di Ularan semuanya, terutamanya kepada Hupapati, mengenai para Pande Besi di Tamblingan, supaya mereka diupayakan kembali ke Tamblingan. Para Mantri hendaknya menjaga keselamatan mereka dengan mengawal kepulangan mereka ke Tamblingan dan Arya Cengceng janganlah mengganggu ketentraman penduduk di Tamblingan, dan Arya Cengceng supaya pergi dari Tamblingan, dan pindah bertempat tinggal di Lwa Gajah (Goa Gajah) karena aku telah membagi tempat tinggal Arya Cengceng dan mengenakan iuran (pangraga sekar) untuk ketentraman desa dan penduduk Tamblingan , yang aku tetapkan sebesar 200 bagi setiap rumah (KK) dan agar iuran itu dibayar setiap sasih kawulu (sekitar bulan Pebruari). Hendaknya semua penduduk lebih menjaga semua hutan dikawasan Tamblingan, Unusan, Pangi, Kedu, Tengah Mel. Dikeluarkan tanggal 3, Saka 1306 (1384 M).
Dari perintah raja agar Arya Cengceng tidak mengganggu penduduk Tamblingan dan dengan tegas memerintahkan agar dia pergi dari wilayah Tamblingan dan menetap di Lwa Gajah, terlihat betapa kejam tingkah lakunya pada wkatu menghancurkan wilayah Tamblingan dan menyiksa rakyat yang masih hidup. Kendatipun ada jaminan bahwa penduduk dan Pande Tamblingan dijamin keamanannya sampai mereka tiba dengan selamat di wilayahnya semula, karena para menteri diperintahkan dengan tegas agar mereka mengantar dan menjaga keselamatan para Pande itu, toh tidak ada warga Pande yang mau kembali ke wilayahnya semula. Dengan demikian upaya pemulangan itu gagal total.
Karena prasasti pertama tidak mencapai hasil alias gagal total, dan karena begitu pentingnya peranan Pande Tamblingan bagi kekuatan pertahanan kerajaan, raja menerbitkan prasasti baru, 14 tahun setelah keluarnya prasasti pertama. Prasasti ini dikeluarkan tahun Saka 1320/1398 M, yang isinya mengulangi perintah yang termuat dalam prasasti pertama. Transkripsi prasasti yang kedua berbunyi sebagai berikut :
”Iku weruhane kang para mantring Ularan samadaya, makanguni hupapatti, hangarep lawangan, yen andikanikingong, magehaken indikanira, talampakanira Paduka Bhatara Sri Prameswara, sira sang mokkta ring wisnubhawana, dening kang apande esi ring Tamblingan, irahana muliha mareng Tamblingan manih, paramantri ta hangantramakna, Arya Cengceng tayo sidigawe kang kasujiwaning Tamblingan, lawan Arya Cengceng irehana lunga hasaking Tamblinganhangereng Lo Gajah, lawan dening pangraga skarekang kasujiwana ring Tamblingan, inging anajenengaken satak ring salawang nangken kawolu, dening panarakan ing desa irehane hahidepa ring Tamblingan, Unusanm, Pangi, Kdu, Tngah Mel, kang rajamudra yen uwus kawaca kagugona dene kang apande wsi ring Tamblingan. Tithi ka 10, Isaka 1320”.
Terjemahan bebasnya: Inilah perintahku yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh para Menteri di Ularan, terutama oleh para upapati diseluruh wilayah, karena aku ingin menegakkan perintah raja terdahulu yaitu raja Prameswara yang telah berpulang ke Wisnuloka (mangkat) agar perintah terdahulu yang bertujuan memulangkan Pande Besi ke Tamblingan. Tetap diupayakan. Para pembesar (upapati) harus menjamin keselamatan mereka dengan mengawal kepulangan mereka. Arya Cengceng tidak boleh mengganggu penduduk Tamblingan. Dia harus tetap tinggal di Lwa Gajah. Untuk menghimpun dana guna mengurangi penderitaan penduduk Tamblingan aku memerintahkan pemunggutan upeti sebesar 200 pada tiap-tiap KK, yang harus dibayar setiap bulan kawulu (sekitar Pebruari) oleh penduduk Tamblingan, unusan, Pangi, Kedu, Tengah mel. Demikianlah rajamudra-ku (perintah), dan setelah dibaca harus dilaksanakan oleh Pande Besi di Tamblingan. Ditetapkan pada sasih Kadasa (sekitar bulan april) tahun Isaka 1320 (1398 M).
Tugas pemulangan Pande Tamblingan tahap kedua inipun gagal total juga. Apa buktinya? Buktinya jelas sekali, karena sampai sekarang keturunan Pande Tamblingan tidak ada yang menetap di Tamblingan. Mereka nyineb raga, menyembunyikan jati diri Pande-nya atau sembunyi-sembunyi bergabung dengan Pande yang datang kemudian ke Bali setelah jatuhnya Majapahit.
Sumber :
PANDE TAMBLINGAN
Tirtha Yatra Napak Tilas Pande Jaman Bali Kuno
Sebagai bekal peserta tirtha yatra ke Situs Pande Tamblingan tanggal 16 Agustus 2004
Oleh:
Made Kembar Kerepun (alm)
Tugas itu diberikan kepada Mantri Ularan dan para Upapati (pembesar) lainnya untuk membujuk agar Pande Tamblingan yang masih hidup mau kembali ke wilayahnya semula. Ternyata usaha itu gagal total, karena Pande Tamblingan tetap curiga dan takut kalau-kalau mereka diperdaya, dijebak, dan kemudian dihabisi seperti yang dialami rekan-rekannya. Oleh karena itu mereka tidak mau kembali ke wilayah asalnya di Tamblingan, apalagi yang memimpin pemulangan itu adalah orang-orang ganas yang menghancur leburkan wilayah mereka dan yang membunuh rekan-rekan mereka.
Untuk itu dikeluarkanlah prasasti oleh raja Prameswara, seorang raja dari Wngker, paman dari raja Hayam Wuruk, yang ditunjuk oleh Gajah Mada sebagai Kontrolir Bali, yang bertugas selain membantu sekaligus memata-matai Raja Bali yang memerintah Bali atas nama Majapahit.
Berikut adalah transkripsi prasasti dimaksud:
”Iku surat ingong katka bahang para mantri ularan samadya, maka nguni hupatiti, hinar plahangan, deninya Pande wesi ring Tamblingan ira ana muliha mareng Tamblingan manih para mantri mahangantra makna Arya Cengceng tayo sidi gawe kang kasujiwaing Tamblingan, lawanhire hane Arya Cengceng lung ta ya ri Tamblingan hanerahin Lwa Gajah apan ingong huwushawehengwonana Arya Cengceng lawan dening pangraga sekarekan kasijiwaning Tamblingan hingong ajegaken satak salawang nengken kawolu kang atura prenalas, dening panakraning desa, ira hane malrahidepa hing rama ning Tamblingan, unusan, Pangi, Kdu, Tngah Mel. Tithi ka-3, Isaka 1306”
Terjemahan bebasnya: ”Demikianlah suratku kepada para Menteri di Ularan semuanya, terutamanya kepada Hupapati, mengenai para Pande Besi di Tamblingan, supaya mereka diupayakan kembali ke Tamblingan. Para Mantri hendaknya menjaga keselamatan mereka dengan mengawal kepulangan mereka ke Tamblingan dan Arya Cengceng janganlah mengganggu ketentraman penduduk di Tamblingan, dan Arya Cengceng supaya pergi dari Tamblingan, dan pindah bertempat tinggal di Lwa Gajah (Goa Gajah) karena aku telah membagi tempat tinggal Arya Cengceng dan mengenakan iuran (pangraga sekar) untuk ketentraman desa dan penduduk Tamblingan , yang aku tetapkan sebesar 200 bagi setiap rumah (KK) dan agar iuran itu dibayar setiap sasih kawulu (sekitar bulan Pebruari). Hendaknya semua penduduk lebih menjaga semua hutan dikawasan Tamblingan, Unusan, Pangi, Kedu, Tengah Mel. Dikeluarkan tanggal 3, Saka 1306 (1384 M).
Dari perintah raja agar Arya Cengceng tidak mengganggu penduduk Tamblingan dan dengan tegas memerintahkan agar dia pergi dari wilayah Tamblingan dan menetap di Lwa Gajah, terlihat betapa kejam tingkah lakunya pada wkatu menghancurkan wilayah Tamblingan dan menyiksa rakyat yang masih hidup. Kendatipun ada jaminan bahwa penduduk dan Pande Tamblingan dijamin keamanannya sampai mereka tiba dengan selamat di wilayahnya semula, karena para menteri diperintahkan dengan tegas agar mereka mengantar dan menjaga keselamatan para Pande itu, toh tidak ada warga Pande yang mau kembali ke wilayahnya semula. Dengan demikian upaya pemulangan itu gagal total.
Karena prasasti pertama tidak mencapai hasil alias gagal total, dan karena begitu pentingnya peranan Pande Tamblingan bagi kekuatan pertahanan kerajaan, raja menerbitkan prasasti baru, 14 tahun setelah keluarnya prasasti pertama. Prasasti ini dikeluarkan tahun Saka 1320/1398 M, yang isinya mengulangi perintah yang termuat dalam prasasti pertama. Transkripsi prasasti yang kedua berbunyi sebagai berikut :
”Iku weruhane kang para mantring Ularan samadaya, makanguni hupapatti, hangarep lawangan, yen andikanikingong, magehaken indikanira, talampakanira Paduka Bhatara Sri Prameswara, sira sang mokkta ring wisnubhawana, dening kang apande esi ring Tamblingan, irahana muliha mareng Tamblingan manih, paramantri ta hangantramakna, Arya Cengceng tayo sidigawe kang kasujiwaning Tamblingan, lawan Arya Cengceng irehana lunga hasaking Tamblinganhangereng Lo Gajah, lawan dening pangraga skarekang kasujiwana ring Tamblingan, inging anajenengaken satak ring salawang nangken kawolu, dening panarakan ing desa irehane hahidepa ring Tamblingan, Unusanm, Pangi, Kdu, Tngah Mel, kang rajamudra yen uwus kawaca kagugona dene kang apande wsi ring Tamblingan. Tithi ka 10, Isaka 1320”.
Terjemahan bebasnya: Inilah perintahku yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh para Menteri di Ularan, terutama oleh para upapati diseluruh wilayah, karena aku ingin menegakkan perintah raja terdahulu yaitu raja Prameswara yang telah berpulang ke Wisnuloka (mangkat) agar perintah terdahulu yang bertujuan memulangkan Pande Besi ke Tamblingan. Tetap diupayakan. Para pembesar (upapati) harus menjamin keselamatan mereka dengan mengawal kepulangan mereka. Arya Cengceng tidak boleh mengganggu penduduk Tamblingan. Dia harus tetap tinggal di Lwa Gajah. Untuk menghimpun dana guna mengurangi penderitaan penduduk Tamblingan aku memerintahkan pemunggutan upeti sebesar 200 pada tiap-tiap KK, yang harus dibayar setiap bulan kawulu (sekitar Pebruari) oleh penduduk Tamblingan, unusan, Pangi, Kedu, Tengah mel. Demikianlah rajamudra-ku (perintah), dan setelah dibaca harus dilaksanakan oleh Pande Besi di Tamblingan. Ditetapkan pada sasih Kadasa (sekitar bulan april) tahun Isaka 1320 (1398 M).
Tugas pemulangan Pande Tamblingan tahap kedua inipun gagal total juga. Apa buktinya? Buktinya jelas sekali, karena sampai sekarang keturunan Pande Tamblingan tidak ada yang menetap di Tamblingan. Mereka nyineb raga, menyembunyikan jati diri Pande-nya atau sembunyi-sembunyi bergabung dengan Pande yang datang kemudian ke Bali setelah jatuhnya Majapahit.
Sumber :
PANDE TAMBLINGAN
Tirtha Yatra Napak Tilas Pande Jaman Bali Kuno
Sebagai bekal peserta tirtha yatra ke Situs Pande Tamblingan tanggal 16 Agustus 2004
Oleh:
Made Kembar Kerepun (alm)
No comments:
Post a Comment