Tuesday, December 30, 2008

Kliping "Bali Adnyana"

Pertama akan dijelaskan terlebih dahulu mengapa klipping Bali Adnyana, nomor 25 edisi Jumat Legi, tanggal 10 Desember 1926 yang berjudul: "Buahnya Surya Kanta", dan Bali Adnyana Nomor 1, edisi Minggu 1 Januari 1928 yang berjudul: "Agama dan Adat Akan Dirobah", disertakan dalam telaah singkat ini.

Sebabnya adalah:
Pertama, karena dalam Dossier Korn 213 Leiden hanya disinggung secara pintas lalu saja mengenai masalah Pande Mengwi tahun 1926, seperti yang termuat dalam advis Asisten Residen Bali Selatan kepada Residen Bali dan Lombok tertanggal Nopember 1928, yang telah dikupas pada waktu membicarakan dokumen nomor 14, padahal maslaah Pande Mengwi merupakan masalah penting dalam jajaran maslaah Pande di Bali.

Kedua, karena dalam Bali Adnyana dengan jelas dikemukan bahwa terjadinya perkara Pande Mengwi itu adalah karena "Buahnya Surya Kanta" atau lebih tegas lagi karena hasutan dari Perkumpulan Surya Kanta.

Ketiga, karena baik Perkumpulan Surya Kanta maupun organnya/medianya yang juga bernama Surya Kanta, tokoh-tokoh utamanya adalah warga Pande, sebagaimana dikemukan oleh penulis Linda H. Connor dalam tulisannya yang berjudul: "Contesting adn Transdorming The Work for the Dead in Bali, The Case of Ngaben Ngerit" yang termuat dalam buku "Being Modern In Bali", yang disunting oleh Adrian Vickers. Dengan demikian yang memberi warna terhadap dasar-dasar perjuangan Surya Kanta mengenai kesetaraan dan kemajuan disegala bidang kehidupan sesuai dengan perkembangan jaman, termasuk didalam bidang agama dan adat, adalah warga Pande.

Bali Adnyana No. 35, edisi Jumat Legi, 10 Desember 1926, memuat artikel tentang perseketaan antara Pande Mengwi dengan desa adatnya, yang terjadi karena warga Pande Mengwi pada pengabenan yang berlangsung pada bulan Nopember 1926 bersikukuh menggunakan tirta pengentas dari Sira Mpunya sendiri disamping mempergunakan bade/wadah bertumpang tujuh yang ditentang dan tidak dibenarkan oleh desa adatnya. Jalan menuju ke tempat pembakaran jenazah diblokir dan dipenuhi onak dan duri. Syukurlah atas perintah Kontrolir Badung dan penjagaan ketat Polisi dan atas kebijaksanaan Punggawa Mengwi, pengabenan dapat berjalan dengan lancar tanpa huru hara. Kebijaksanaan yang diambil oleh Punggawa dalam menyelesaikan sengketa antara warga pande dengan desa adat adalah atas petunjuk dan pengarahan dari Kontrolir Onderafdeling Badung, yang mendapat laporan dari I Mastra, bahwa Punggawa Mengwi tidak mau memberi pertolongan kepada warga Pande dalam sengketanya dengan desa adatnya.

I Mastra adalah saudara dari I Nengah Metra tokoh Pande dari desa Bratan, yang pada waktu peristiwa itu adalah Presiden dari Perkumpulan Surya Kanta, yang memang dengan gigih memperjuangkan kesetaraan antara sesama orang Hindu di dalam segala bidang kehidupan.
Berkat campur tangan dan pembelaan dari tokoh-tokoh Surya Kanta seperti I Nengah Metra, I Ketut Nasa dan I Ketut Putra, yang melaporkan masalah pengabenan itu ke tingkat Kontrolir--yang kemudian memerintahkan agar Punggawa Mengwi menengahi masalah itu—pengabenan dapat berjalan sesuai dengan rencana tanpa ada korban yang jatuh, baik dikalangan warga Pande maupun dari warga desa.

Kutipan artikel Bali Adnyana nomor 1/1928 (dalam EYD): "Sebagai bukti yang nyata sekali akan perasaan kami yaitu hal semacam itu memang berbahaya, adalah sudah terjadi di Mengwi. Kalau hal itu hanya dipandang dari jauh saja, tentulah tak akan tampak besarnya bahaya, tetapi kalau orang suka mendekati mengetahui mendengar sendiri akan hal itu di desa Mengwi tentulah juga akan mempunyai perasaan sebagai kami, sebab sekarang diantara kaum Pande dan orang desa sudah sama dengki berdengkian dan juga ada permohonan membagi pura atawa sema (kuburan) dan lain-lainnya, yang mana akan memberi jalan maupun tauladan kepada kaum desa yang kurang pengetahuannya, sehingga juga lantas kurang mempercayai pada adat dan agamanya dan ternyata lantas bisa dipermain-mainkan oleh seorang dua dan karena hasutan lalu dituruti oleh yang lainnya, tetapi menurut itu adalah ternyata karena kebodohan maupun terpaksa, terbukti menurut kabar diantara kaum Pande di Mengwi yanbg dahulu tidak suka metirta Pedanda, sekarang ada juga yang minta kembali sebagaimana dahulu yaitu metirta Pedanda".
Berbeda dengan penilaian Bali Adnyana, setelah pengabenan berlangsung, hubungan antara warga Pande dan warga desa lainnya mesra kembali, kendatipun warga Pande bersangkutan tetap mempergunakan trita Mpunya sendiri.

Mengenai maslaah Pande di Blahbatuh, Bali Adnyana dalam nomor 1 Minggu, 1 Januari 1928, menyampaikan sebagai berikut: "begitu juga yang lebih mengherankan lagi hati kami dengan keadaan dalam Onderafdeling Gianyar, dimana Afdeling itu ada atas pimpinannya seorang Regent (setingkat Bupati) yang asal keturunan raja disitu, yaitu yang tak kurang daripada patut menjaga betul akan keselamatan dan keteguhan agama kita, hingga bisa juga terjadi sebagai di Mengwi ...........Tiba-tiba sekarang lantas ada sebagai di Blahbatuh lalu terkabul permohonannya. Dalam hal ini timbulah pernyataan dalam hati kami; Atas kemauan siapakah merubah itu aturan dahulu ??? Kalau umpama dari kemauan Regent atau Pedanda Lid Raad Kerta, adalah kami anggap perbuatan itu tak patut sekali-kali, sebab beliau sekalian masih orang Bali yang memeluk juga Agama Bali, malah sebaliknya beliau harus mempertahankan sedapat-dapatnya ....................Kalau memang Regent bermaksud menuruti kemauan bangsa Pande barangkali baik kalau dimohonkan pada Pemerintah ia tinggal terasing dari tempat desa bekasnya ia metirta Pedanda, supaya percekcokan jangan terjadi dan sekalian hak-haknya dalam desa itu dihapuskan, sebab memang atas kemauannya sendiri ia meninggalkan haknya".
Selain mengeluarkan unek-uneknya, tidak lupa Bali Adnyana menasehati Regent Gianyar apa yang seharusnya dilakukan, yaitu mengasingkan warga Pande agar terpisah dari desanya. Tentu saja nasehat itu tidak ada yang menggubrisnya. Ternyata setelah keluarnya keputusan Pemerintah yang membenarkan warga Pande Kajanan di Blahbatuh, warga Pande menjadi rukun seperti sedia kala dengan desa adatnya.

Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 18 dan 19"

Pertama akan dijelaskan terlebih dahulu mengapa klipping Bali Adnyana, nomor 25 edisi Jumat Legi, tanggal 10 Desember 1926 yang berjudul: "Buahnya Surya Kanta", dan Bali Adnyana Nomor 1, edisi Minggu 1 Januari 1928 yang berjudul: "Agama dan Adat Akan Dirobah", disertakan dalam telaah singkat ini.
Sebabnya adalah:
Pertama, karena dalam Dossier Korn 213 Leiden hanya disinggung secara pintas lalu saja mengenai masalah Pande Mengwi tahun 1926, seperti yang termuat dalam advis Asisten Residen Bali Selatan kepada Residen Bali dan Lombok tertanggal Nopember 1928, yang telah dikupas pada waktu membicarakan dokumen nomor 14, padahal maslaah Pande Mengwi merupakan masalah penting dalam jajaran maslaah Pande di Bali.
Kedua, karena dalam Bali Adnyana dengan jelas dikemukan bahwa terjadinya perkara Pande Mengwi itu adalah karena "Buahnya Surya Kanta" atau lebih tegas lagi karena hasutan dari Perkumpulan Surya Kanta.
Ketiga, karena baik Perkumpulan Surya Kanta maupun organnya/medianya yang juga bernama Surya Kanta, tokoh-tokoh utamanya adalah warga Pande, sebagaimana dikemukan oleh penulis Linda H. Connor dalam tulisannya yang berjudul: "Contesting adn Transdorming The Work for the Dead in Bali, The Case of Ngaben Ngerit" yang termuat dalam buku "Being Modern In Bali", yang disunting oleh Adrian Vickers. Dengan demikian yang memberi warna terhadap dasar-dasar perjuangan Surya Kanta mengenai kesetaraan dan kemajuan disegala bidang kehidupan sesuai dengan perkembangan jaman, termasuk didalam bidang agama dan adat, adalah warga Pande.
Bali Adnyana No. 35, edisi Jumat Legi, 10 Desember 1926, memuat artikel tentang perseketaan antara Pande Mengwi dengan desa adatnya, yang terjadi karena warga Pande Mengwi pada pengabenan yang berlangsung pada bulan Nopember 1926 bersikukuh menggunakan tirta pengentas dari Sira Mpunya sendiri disamping mempergunakan bade/wadah bertumpang tujuh yang ditentang dan tidak dibenarkan oleh desa adatnya. Jalan menuju ke tempat pembakaran jenazah diblokir dan dipenuhi onak dan duri. Syukurlah atas perintah Kontrolir Badung dan penjagaan ketat Polisi dan atas kebijaksanaan Punggawa Mengwi, pengabenan dapat berjalan dengan lancar tanpa huru hara. Kebijaksanaan yang diambil oleh Punggawa dalam menyelesaikan sengketa antara warga pande dengan desa adat adalah atas petunjuk dan pengarahan dari Kontrolir Onderafdeling Badung, yang mendapat laporan dari I Mastra, bahwa Punggawa Mengwi tidak mau memberi pertolongan kepada warga Pande dalam sengketanya dengan desa adatnya.
I Mastra adalah saudara dari I Nengah Metra tokoh Pande dari desa Bratan, yang pada waktu peristiwa itu adalah Presiden dari Perkumpulan Surya Kanta, yang memang dengan gigih memperjuangkan kesetaraan antara sesama orang Hindu di dalam segala bidang kehidupan.
Berkat campur tangan dan pembelaan dari tokoh-tokoh Surya Kanta seperti I Nengah Metra, I Ketut Nasa dan I Ketut Putra, yang melaporkan masalah pengabenan itu ke tingkat Kontrolir--yang kemudian memerintahkan agar Punggawa Mengwi menengahi masalah itu—pengabenan dapat berjalan sesuai dengan rencana tanpa ada korban yang jatuh, baik dikalangan warga Pande maupun dari warga desa.
Kutipan artikel Bali Adnyana nomor 1/1928 (dalam EYD): "Sebagai bukti yang nyata sekali akan perasaan kami yaitu hal semacam itu memang berbahaya, adalah sudah terjadi di Mengwi. Kalau hal itu hanya dipandang dari jauh saja, tentulah tak akan tampak besarnya bahaya, tetapi kalau orang suka mendekati mengetahui mendengar sendiri akan hal itu di desa Mengwi tentulah juga akan mempunyai perasaan sebagai kami, sebab sekarang diantara kaum Pande dan orang desa sudah sama dengki berdengkian dan juga ada permohonan membagi pura atawa sema (kuburan) dan lain-lainnya, yang mana akan memberi jalan maupun tauladan kepada kaum desa yang kurang pengetahuannya, sehingga juga lantas kurang mempercayai pada adat dan agamanya dan ternyata lantas bisa dipermain-mainkan oleh seorang dua dan karena hasutan lalu dituruti oleh yang lainnya, tetapi menurut itu adalah ternyata karena kebodohan maupun terpaksa, terbukti menurut kabar diantara kaum Pande di Mengwi yanbg dahulu tidak suka metirta Pedanda, sekarang ada juga yang minta kembali sebagaimana dahulu yaitu metirta Pedanda".
Berbeda dengan penilaian Bali Adnyana, setelah pengabenan berlangsung, hubungan antara warga Pande dan warga desa lainnya mesra kembali, kendatipun warga Pande bersangkutan tetap mempergunakan trita Mpunya sendiri.
Mengenai maslaah Pande di Blahbatuh, Bali Adnyana dalam nomor 1 Minggu, 1 Januari 1928, menyampaikan sebagai berikut: "begitu juga yang lebih mengherankan lagi hati kami dengan keadaan dalam Onderafdeling Gianyar, dimana Afdeling itu ada atas pimpinannya seorang Regent (setingkat Bupati) yang asal keturunan raja disitu, yaitu yang tak kurang daripada patut menjaga betul akan keselamatan dan keteguhan agama kita, hingga bisa juga terjadi sebagai di Mengwi ...........Tiba-tiba sekarang lantas ada sebagai di Blahbatuh lalu terkabul permohonannya. Dalam hal ini timbulah pernyataan dalam hati kami; Atas kemauan siapakah merubah itu aturan dahulu ??? Kalau umpama dari kemauan Regent atau Pedanda Lid Raad Kerta, adalah kami anggap perbuatan itu tak patut sekali-kali, sebab beliau sekalian masih orang Bali yang memeluk juga Agama Bali, malah sebaliknya beliau harus mempertahankan sedapat-dapatnya ....................Kalau memang Regent bermaksud menuruti kemauan bangsa Pande barangkali baik kalau dimohonkan pada Pemerintah ia tinggal terasing dari tempat desa bekasnya ia metirta Pedanda, supaya percekcokan jangan terjadi dan sekalian hak-haknya dalam desa itu dihapuskan, sebab memang atas kemauannya sendiri ia meninggalkan haknya".
Selain mengeluarkan unek-uneknya, tidak lupa Bali Adnyana menasehati Regent Gianyar apa yang seharusnya dilakukan, yaitu mengasingkan warga Pande agar terpisah dari desanya. Tentu saja nasehat itu tidak ada yang menggubrisnya. Ternyata setelah keluarnya keputusan Pemerintah yang membenarkan warga Pande Kajanan di Blahbatuh, warga Pande menjadi rukun seperti sedia kala dengan desa adatnya.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

Monday, December 29, 2008

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 18"

Dokumen ini tidak berasal dari Dossier Korn 213 Leiden, tetapi berasal dari warga Pande Kedisan di Tegalalang Gianyar, yang berperkara melawan Desa Adatnya, yang dimenangkan oleh warga Pande. Vonis kemenangan itu disampaikan kepada mereka pada tanggal 25 Juni 1928.

Vonis itu disimpan dengan rapinya pada sepotong bambu, ditutup rapat-rapat, disembunyikan bertahun-tahun lamanya. Warga Pande dilarang membuka apalagi membacanya, karena takut tulah atau kena kutuk, karena paham ajewera. Betapaun meresapnya cekokan ajaran kolot ini kepada masyarakat, dapat kita rasakan dari takutnya atau ditakut-takutinya rakyat oleh elit agamanya dengan tujuan agar masyarakat tetap bodoh dan mudah ditipu dan diperalat oleh golongan penguasa.

Vonis itu rusak dimakan rayap. Warga Pande Kedisan tidak mengetahui isinya secara pasti, karena dilarang membacanya oleh orang-orang tua. Mereka tahu perkaranya menang karena diberitahu oleh utusan kontrolir Gianyar yang menyampaikan vonis itu kepada mereka tanggal 25 Juni 1928.
Perkaranya berlangsung dari tahun 1927 samapai dengan tahun 1928. Sanksi Kesepekang dan latangan mempergunakan jalan, mengambil air, larangan ke Pura, larangan mengubur dengan segala akibatnya mereka rasakan selama 2 tahun, tetapi mereka tetap bertahan. Mereka berusaha berswasembada dalam segala bidang, berusaha membuat sumur dirumahnya masing-masing, berusaha membuat kuburan sendiri.
Setelah perkaranya diputus oleh Raad Kerta di Gianyar, yang memenangkan mereka, mereka hidup menyatu kembali sebagai warga desa seperti sedia kala dan hidup rukun dengan sesama warga desanya.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 17"

Dokumen ini tidak berasal dari Dossier Korn 213 Leiden, tetapi berasal dari warga Pande Kedisan di Tegalalang Gianyar, yang berperkara melawan Desa Adatnya, yang dimenangkan oleh warga Pande. Vonis kemenangan itu disampaikan kepada mereka pada tanggal 25 Juni 1928.
Vonis itu disimpan dengan rapinya pada sepotong bambu, ditutup rapat-rapat, disembunyikan bertahun-tahun lamanya. Warga Pande dilarang membuka apalagi membacanya, karena takut tulah atau kena kutuk, karena paham ajewera. Betapaun meresapnya cekokan ajaran kolot ini kepada masyarakat, dapat kita rasakan dari takutnya atau ditakut-takutinya rakyat oleh elit agamanya dengan tujuan agar masyarakat tetap bodoh dan mudah ditipu dan diperalat oleh golongan penguasa.
Vonis itu rusak dimakan rayap. Warga Pande Kedisan tidak mengetahui isinya secara pasti, karena dilarang membacanya oleh orang-orang tua. Mereka tahu perkaranya menang karena diberitahu oleh utusan kontrolir Gianyar yang menyampaikan vonis itu kepada mereka tanggal 25 Juni 1928.
Perkaranya berlangsung dari tahun 1927 samapai dengan tahun 1928. Sanksi Kesepekang dan latangan mempergunakan jalan, mengambil air, larangan ke Pura, larangan mengubur dengan segala akibatnya mereka rasakan selama 2 tahun, tetapi mereka tetap bertahan. Mereka berusaha berswasembada dalam segala bidang, berusaha membuat sumur dirumahnya masing-masing, berusaha membuat kuburan sendiri.
Setelah perkaranya diputus oleh Raad Kerta di Gianyar, yang memenangkan mereka, mereka hidup menyatu kembali sebagai warga desa seperti sedia kala dan hidup rukun dengan sesama warga desanya.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 16"

Dokumen nomor 16 memuat kutipan lontar Indrakila yang menyangkut perihal Asisia-sisia/Sambuka.


Kalau kita cermati isi lontar-lontar yang berkaitan dengan adat dan agama di Bali yang berlaku pada masa jaya-jayanya feodalisme dengan sistem kastanya di Bali, akan diketemukan bahwa sebagian besar isi lontar-lontar itu memuat hal-hal yang menguntungkan triwangsa dan sebaliknya merugikan golongan sudrawangsa. Isinya menakut-nakuti rakyat, terutama rakyat dari golongan sudra, atas kesalahan atau perbuatan yang dilakukannya atau terjadi padanya seperti manak salah, anglangkahi karang hulu, menjadi Mpu dan lain-lain. Kesalahan itu terkenal dengan istilah memada-mada atau meniru-niru apa-apa yang hanya berlaku atau hanya boleh dilakukan oleh golongan triwangsa.
Dalam lontar Indrakila disebutkan bahwa kalau terjadi Sambuka/Samuka, maka negeri akan menjadi panas, semua binatang menjadi kurus, akan terjadi paceklik/kemeranaan di sawah-sawah, akan terjadi salah ulah, sang Prabu pendek umur, orang sakit banyak yang mati, sakit lepra tiada berkeputusan, sang prabu tidak lama memerintah, sang Wiku tidak tajam tilikan dan kepandaiannya, sang Prabu dan sang Wiku dijadikan bahan ejekan, anak-anak banyak mati, dan sebagainya, dan sebagainya.
Dalam lontar Indrakila bukan hanya kalau sudra menjadi Sulinggih dikatagorikan sebagai Asisia-sisia/Sambuka, perbuatan memada-mada (menyamai atau meniru) Raja dan Wikupun dimasukan dalam perbuatan Asisia-sisia atau Sambuka, dan kepada pelakunya dapat djatuhi hukuman mati oleh Raja.
Betapa kejamnya hukuman terhadap mereka yang melakukan Sambuka, dapat dibaca dalam lontar itu, yang salinannya berbunyi sebagai berikut: "Itulah namanya sambuka, meniru adatnya sang Prabu dan sang Wiku, dan meniru segala pakaiannya sang Prabu dan sang Wiku, dan meninggikan dirinya dan bicaranya dan dia punya rumah menurut aturan sang prabu dan sang Wiku; jika bangsa sudra berlaku seperti itu, itulah yang dinamakan Sambuka. Itu wajib dipotong lehernya, badannya dibungkus dengan duri, seraya dibuang kedalam laut adanya.
Tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi pada diri Mpu Pande dan warga Pande seandainya perkara-perkara Pande itu terjadi pada masa jaya-jayanya kekuasaan feodal dengan sistem kastanya di Bali, sebelum penjajahan Belanda di Bali. Tentulah hukuman rajam seperti itulah yang akan mereka alami.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 16"

Dokumen nomor 16 memuat kutipan lontar Indrakila yang menyangkut perihal Asisia-sisia/Sambuka.
Kalau kita cermati isi lontar-lontar yang berkaitan dengan adat dan agama di Bali yang berlaku pada masa jaya-jayanya feodalisme dengan sistem kastanya di Bali, akan diketemukan bahwa sebagian besar isi lontar-lontar itu memuat hal-hal yang menguntungkan triwangsa dan sebaliknya merugikan golongan sudrawangsa. Isinya menakut-nakuti rakyat, terutama rakyat dari golongan sudra, atas kesalahan atau perbuatan yang dilakukannya atau terjadi padanya seperti manak salah, anglangkahi karang hulu, menjadi Mpu dan lain-lain. Kesalahan itu terkenal dengan istilah memada-mada atau meniru-niru apa-apa yang hanya berlaku atau hanya boleh dilakukan oleh golongan triwangsa.
Dalam lontar Indrakila disebutkan bahwa kalau terjadi Sambuka/Samuka, maka negeri akan menjadi panas, semua binatang menjadi kurus, akan terjadi paceklik/kemeranaan di sawah-sawah, akan terjadi salah ulah, sang Prabu pendek umur, orang sakit banyak yang mati, sakit lepra tiada berkeputusan, sang prabu tidak lama memerintah, sang Wiku tidak tajam tilikan dan kepandaiannya, sang Prabu dan sang Wiku dijadikan bahan ejekan, anak-anak banyak mati, dan sebagainya, dan sebagainya.
Dalam lontar Indrakila bukan hanya kalau sudra menjadi Sulinggih dikatagorikan sebagai Asisia-sisia/Sambuka, perbuatan memada-mada (menyamai atau meniru) Raja dan Wikupun dimasukan dalam perbuatan Asisia-sisia atau Sambuka, dan kepada pelakunya dapat djatuhi hukuman mati oleh Raja.
Betapa kejamnya hukuman terhadap mereka yang melakukan Sambuka, dapat dibaca dalam lontar itu, yang salinannya berbunyi sebagai berikut: "Itulah namanya sambuka, meniru adatnya sang Prabu dan sang Wiku, dan meniru segala pakaiannya sang Prabu dan sang Wiku, dan meninggikan dirinya dan bicaranya dan dia punya rumah menurut aturan sang prabu dan sang Wiku; jika bangsa sudra berlaku seperti itu, itulah yang dinamakan Sambuka. Itu wajib dipotong lehernya, badannya dibungkus dengan duri, seraya dibuang kedalam laut adanya".
Tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi pada diri Mpu Pande dan warga Pande seandainya perkara-perkara Pande itu terjadi pada masa jaya-jayanya kekuasaan feodal dengan sistem kastanya di Bali, sebelum penjajahan Belanda di Bali. Tentulah hukuman rajam seperti itulah yang akan mereka alami.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 15"

Dokumen ini memuat advis dari ahli yang sangat terkenal yaitu R. Goris. Advisnya sangat ilmiah dan memerlukan pengetahuan yang luas tentang sejarah, adat dan budaya Bali untuk dapat memahaminya. Dalam telaahan ini advisnya tidak akan dibahas, dan akan dibahas lebih jauh dalam edisi yang lebih komprehensif.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

Surat Balasan Ass. Residen Bali Selatan

Dokumen ini memuat jawaban Asisten Residen Bali Selatan atas surat residen Bali dan Lombok di Singaraja tertanggal 11 Mei 1928 No. R14h5a, yang baru dibalas oleh Asisten Residen Bali Selatan pada bulan Nopember 1928. Dari lamanya waktu yang diperlukan oleh Asisten Residen untuk menjawab Surat Residen Bali dan Lombok, yaitu lebih kurang enam bulan lamanya, dapat ditarik kesimpulan bahwa soal yang harus ditelaah dan yang selanjutnya harus dilapurkannya kepada Residen adalah masalah yang berat atau serius.

Surat Balasan Asisten Residen berjudul "Advis Mengenai Perkara Pande" mengindikasi betapa berat bobot perkara yang harus diselidikinya secara mendalam, sebelum memberikan advis kepada atasannya, apalagi mengingat perkara-perkara Pande itu meliputi rentang waktu yang lama, yaitu dari tahun 1911 s/d tahun 1928, dan terjadi di banyak desa.

Pada awal suratnya, Asisten Residen dengan menyesal menyatakan kepada Residen bahwa dia belum sepenuhnya berhasil mengungkapkan perkara Pande yang harus dia adviskan kepadanya.

Marilah kita ikuti butir-butir yang terkandung dalam suratnya itu dengan mengutip langsung bagian-bagian yang penting-penting saja: "Menurut pendapat saya, pokok perkara terletak pada penggunaan tirta Brahmana yang ditolak warga Pande dan penggunaan tirta Mpu sendiri yang berdampak tidak boleh digunakan setiap pura, setiap pemakaman, setiap mata air, menurut aturan/sima kuno, tidak pernah akan dapat menyelesaikan perkara menyangkut warga Pande, terkecuali warga Pande dibenarkan menggunakan tirta Mpunya sendiri, di puranya sendiri, di tempat pemakamannya sendiri, di mata airnya sendiri dan lain lain".

Dari pemaparan diatas jelas dan tegas betapa kukuhnya warga Pande mempertahankan pendiriannya, kendatipun harus menanggung segala resiko yang sangat berat.

Mengenai cikal bakal Pande, menyampaikan kesimpulan sebagai berikut: "Cikal bakal Pande sudah ada sejak jaman purba, hanya tidak sepenuhnya jelas. Mereka memang terhitung dalam kasta sudra. Pada awalnya, namanya sudah menjelaskan mereka berasal dari treh para pekerja besi dan metal lainnya, yang dalam pandangan para raja sangat dihargai dan dihormati, karena keutamaan dan kepentingan karyanya. Diperkirakan karena kehormatan yang diperolehnya, mereka tidak mengakui golongan kasta sudra, dan seringkali juga memakai nama lainnya dan menyatakan diri tergolong triwangsa yang berketurunan dari Mpu Pradah".

Bagaimana pandangannya mengenai Pande Beng, yang berani berperkara melawan rajanya, Asisten Residen mengungkapkannya secara lugas, sebagai berikut: "Baru ditahun 1913 ada beberapa orang dari desa Beng yang tergolong Pande besi merantau ke Buleleng dan setelah tinggal beberapa lama disana kembali ke desanya dengan tujuan menempatkan para Pande pada kedudukan dan kekuasaan lebih tinggi. Gerakan ini berakhir dengan penghinaan karena mereka tidak memenuhi perintah-perintaha penguasa, dan tidak mengikuti kebiasaan orang lain, dan untuk perbuatan-perbuatan itu sang aktor intelektualnya yaitu I Kotong, dihukum buang (diselong) seumur hidup dan pelaku-pelaku lainnya dihukum lebih ringan. Sejak pelaku utama ini kembali (saya kira I Ktong beberapa waktu kemudian diampuni), maka para Pande di desa-desa yang lainnya juga ikut bergolak, hukuman buang berpengaruh sangat kecil".
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pande Beng lebih awal menerima pengaruh arus kemajuan jaman yang mulai berkembang di Bali Utara sebagai akibat penjajahan Belanda, yang membawa serta arus kemajuan peradaban barat di daerah jajahannya. Dibandingkan dengan rekan-rekannya semama Pande di daerah lainnya, Pande Beng yang berani merantau ke daerah lain sebagai pedagang menjajakan mata dagangannya berupa alat-alat hasil pekerjaan Pande, menyebabkan horizon mereka lebih luas dan menjadi lebih berani mengemukakana perbedaan pendapat.
Lebih lanjut dikemukan oleh Asisten Residen bahwa: "Pada jaman dulu hukuman mati sangat efektif atau berhasil lebih radikal, akan tetapi dengan ide-ide lebih moderat, maka para Pande Wesi mempunyai keberanian untuk mengemukakan beda pendapatnya. Mereka menyebar keberbagai dareah (kerajaan) menuntut bahwa treh cq. Keturunannya sebagai kasta lebih tinggi dari kasta sudra, sedangkan mereka menginginkan agar kepala dari treh mereka dianggap dan diakui sebaga Siwa-Pande atau Sulinggih. Dengan begitu mereka dianggap menentang salah satu soko guru dari agama Hindu Bali, oleh karena kesulinggihan adalah hanya haknya para Brahmana".
Selanjutnya Asisten Residen melapurkan secara singkat vonnis-vonnis Raad Kerta Gianyar mengenai masalah Pande, sebagai berikut:
1. Vonnis tertanggal 11 Nopember 1927, No. 76/a sipil
2. Vonnis tertanggal 9 Februari 1928, No. 22/sipil
3. Vonnis tertanggal 15 Juni 1928, No. 70/kriminal
4. Vonnis tertanggal 16 Maret 1928, No. 16/criminal/sipil
5. Vonnis tertanggal 6 September 1928, No. 63/sipil
Sayang sekali Dossier Korn 213 Leiden tidak ada lampiran copy dari vonis-vonis tersebut diatas, sehingga tidak jelas di desa mana terjadinya dan bagaimana tepatnya keputusan Raad Kerta itu. Asisten Residen Bali Selatan tidak juga memberikan analisis, mengapa masalah Pande terbanyak terjadi di daerah Gianyar.
Tetapi dari uraiannya mengomentari masing-masing vonis tersebut diatas dapat ditarik benang merah bahwa dalam perkara itu tuntutan warga Pande dimenangkan, dengan berbagai catatan.
Setelah melapurkan tinjauan atas vonis-vonis tersebut diatas, Asisten Residen melanjutkan lapurannya mengenai hasil kunjungannya ke desa-desa dimana terjadi perkara Pande dengan desa adatnya. Kunjungannya ke desa-desa itu bertujuan mencipatakan kerukunan antara warga Pande dengan desa adatnnya.
Yang dikunjungi adalah desa Beng, desa Kedisan, Cebok dan Pujung di Tegalalang, desa Blahbatuh, desa Maniktawang, desa Petemon, desa Pengembungan, desa Serongga dan desa Juga.
Akhirnya advisnya ditutup dengan kalimat: "Menurut pendapat saya banyaknya perselisihan yang akan menghadang antara para Pande Wesi dan para penduduk lainnya untuk sementara tidak mungkin sepenuhnya dapat dipecahkan dengan perdamaian dan tetap akan memerlukan turun tangan pengadilan atas penyelesaian secara hukum.

Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 14"

Dokumen ini memuat jawaban Asisten Residen Bali Selatan atas surat residen Bali dan Lombok di Singaraja tertanggal 11 Mei 1928 No. R14h5a, yang baru dibalas oleh Asisten Residen Bali Selatan pada bulan Nopember 1928. Dari lamanya waktu yang diperlukan oleh Asisten Residen untuk menjawab Surat Residen Bali dan Lombok, yaitu lebih kurang enam bulan lamanya, dapat ditarik kesimpulan bahwa soal yang harus ditelaah dan yang selanjutnya harus dilapurkannya kepada Residen adalah masalah yang berat atau serius.
Surat Balasan Asisten Residen berjudul "Advis Mengenai Perkara Pande" mengindikasi betapa berat bobot perkara yang harus diselidikinya secara mendalam, sebelum memberikan advis kepada atasannya, apalagi mengingat perkara-perkara Pande itu meliputi rentang waktu yang lama, yaitu dari tahun 1911 s/d tahun 1928, dan terjadi di banyak desa.
Pada awal suratnya, Asisten Residen dengan menyesal menyatakan kepada Residen bahwa dia belum sepenuhnya berhasil mengungkapkan perkara Pande yang harus dia adviskan kepadanya.
Marilah kita ikuti butir-butir yang terkandung dalam suratnya itu dengan mengutip langsung bagian-bagian yang penting-penting saja: "Menurut pendapat saya, pokok perkara terletak pada penggunaan tirta Brahmana yang ditolak warga Pande dan penggunaan tirta Mpu sendiri yang berdampak tidak boleh digunakan setiap pura, setiap pemakaman, setiap mata air, menurut aturan/sima kuno, tidak pernah akan dapat menyelesaikan perkara menyangkut warga Pande, terkecuali warga Pande dibenarkan menggunakan tirta Mpunya sendiri, di puranya sendiri, di tempat pemakamannya sendiri, di mata airnya sendiri dan lain lain".
Dari pemaparan diatas jelas dan tegas betapa kukuhnya warga Pande mempertahankan pendiriannya, kendatipun harus menanggung segala resiko yang sangat berat.
Mengenai cikal bakal Pande, menyampaikan kesimpulan sebagai berikut: "Cikal bakal Pande sudah ada sejak jaman purba, hanya tidak sepenuhnya jelas. Mereka memang terhitung dalam kasta sudra. Pada awalnya, namanya sudah menjelaskan mereka berasal dari treh para pekerja besi dan metal lainnya, yang dalam pandangan para raja sangat dihargai dan dihormati, karena keutamaan dan kepentingan karyanya. Diperkirakan karena kehormatan yang diperolehnya, mereka tidak mengakui golongan kasta sudra, dan seringkali juga memakai nama lainnya dan menyatakan diri tergolong triwangsa yang berketurunan dari Mpu Pradah".
Bagaimana pandangannya mengenai Pande Beng, yang berani berperkara melawan rajanya, Asisten Residen mengungkapkannya secara lugas, sebagai berikut: "Baru ditahun 1913 ada beberapa orang dari desa Beng yang tergolong Pande besi merantau ke Buleleng dan setelah tinggal beberapa lama disana kembali ke desanya dengan tujuan menempatkan para Pande pada kedudukan dan kekuasaan lebih tinggi. Gerakan ini berakhir dengan penghinaan karena mereka tidak memenuhi perintah-perintah penguasa, dan tidak mengikuti kebiasaan orang lain, dan untuk perbuatan-perbuatan itu sang aktor intelektualnya yaitu I Kotong, dihukum buang (diselong) seumur hidup dan pelaku-pelaku lainnya dihukum lebih ringan. Sejak pelaku utama ini kembali (saya kira I Ktong beberapa waktu kemudian diampuni), maka para Pande di desa-desa yang lainnya juga ikut bergolak, hukuman buang berpengaruh sangat kecil".
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pande Beng lebih awal menerima pengaruh arus kemajuan jaman yang mulai berkembang di Bali Utara sebagai akibat penjajahan Belanda, yang membawa serta arus kemajuan peradaban barat di daerah jajahannya. Dibandingkan dengan rekan-rekannya semama Pande di daerah lainnya, Pande Beng yang berani merantau ke daerah lain sebagai pedagang menjajakan mata dagangannya berupa alat-alat hasil pekerjaan Pande, menyebabkan horizon mereka lebih luas dan menjadi lebih berani mengemukakana perbedaan pendapat.
Lebih lanjut dikemukan oleh Asisten Residen bahwa: "Pada jaman dulu hukuman mati sangat efektif atau berhasil lebih radikal, akan tetapi dengan ide-ide lebih moderat, maka para Pande Wesi mempunyai keberanian untuk mengemukakan beda pendapatnya. Mereka menyebar keberbagai dareah (kerajaan) menuntut bahwa treh cq. Keturunannya sebagai kasta lebih tinggi dari kasta sudra, sedangkan mereka menginginkan agar kepala dari treh mereka dianggap dan diakui sebaga Siwa-Pande atau Sulinggih. Dengan begitu mereka dianggap menentang salah satu soko guru dari agama Hindu Bali, oleh karena kesulinggihan adalah hanya haknya para Brahmana".
Selanjutnya Asisten Residen melapurkan secara singkat vonnis-vonnis Raad Kerta Gianyar mengenai masalah Pande, sebagai berikut:
1. Vonnis tertanggal 11 Nopember 1927, No. 76/a sipil
2. Vonnis tertanggal 9 Februari 1928, No. 22/sipil
3. Vonnis tertanggal 15 Juni 1928, No. 70/kriminal
4. Vonnis tertanggal 16 Maret 1928, No. 16/criminal/sipil
5. Vonnis tertanggal 6 September 1928, No. 63/sipil
Sayang sekali Dossier Korn 213 Leiden tidak ada lampiran copy dari vonis-vonis tersebut diatas, sehingga tidak jelas di desa mana terjadinya dan bagaimana tepatnya keputusan Raad Kerta itu. Asisten Residen Bali Selatan tidak juga memberikan analisis, mengapa masalah Pande terbanyak terjadi di daerah Gianyar.
Tetapi dari uraiannya mengomentari masing-masing vonis tersebut diatas dapat ditarik benang merah bahwa dalam perkara itu tuntutan warga Pande dimenangkan, dengan berbagai catatan.
Setelah melapurkan tinjauan atas vonis-vonis tersebut diatas, Asisten Residen melanjutkan lapurannya mengenai hasil kunjungannya ke desa-desa dimana terjadi perkara Pande dengan desa adatnya. Kunjungannya ke desa-desa itu bertujuan mencipatakan kerukunan antara warga Pande dengan desa adatnnya.
Yang dikunjungi adalah desa Beng, desa Kedisan, Cebok dan Pujung di Tegalalang, desa Blahbatuh, desa Maniktawang, desa Petemon, desa Pengembungan, desa Serongga dan desa Juga.
Akhirnya advisnya ditutup dengan kalimat: "Menurut pendapat saya banyaknya perselisihan yang akan menghadang antara para Pande Wesi dan para penduduk lainnya untuk sementara tidak mungkin sepenuhnya dapat dipecahkan dengan perdamaian dan tetap akan memerlukan turun tangan pengadilan atas penyelesaian secara hukum".
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 13"

Dokumen nomor 13 memuat advis Lid-lid Raad Kerta di Denpasar atas vonis Raad Kerta di Denpasar yang memutus perkara antara Pande Siteb dan Sira Mpu Pohmanis dengan Desa Adat Pohmanis.


Advis itu antara lain menegaskan sebagai berikut:
"Untuk meneguhkan paham kami, Lid-lid Raad Kerta Denpasar, yaitu tentang kesalahannya pesakitan-pesakitan Pan Siteb dan Sire Mpu, yang dijatuhkan (EYD: dijatuhi) hukuman masing-masing dengan penjara setahun lamanya, lantaran mereka itu telah melakukan pekerjaan mengaben, yang mana yang mana tersebut kesalahan ’Asisia-Sisia (sembuka)’ sebagai yang termaktub diatas vonnis Raad Kerta Denpasar No.: 116/1926/Crimineel, karena pada hemat kami kesalahan tersebut agaknya setimbang dengan kesalahan yang dinamakan ’asumundung’".


Demikianlah Lid-lid Raad Kerta di Denpasar, Sang Gde Ketut Telaga Punia dan Sang Gde Wayan Mider mengawali advisnya kepada Raad Kerta di Denpasar, tertanggal 12 Oktober 1926, sebagai dukungan tertulis atas vonis Raad Kerta di Denpasar nomor 116/1926/Crimineel.

Ada tiga hal yang patut dicermati dan dianalisis dari advis tersebut:


Pertama, Seorang Sira Mpu dalam perkara ini Sira Mpu Pohmanis, dihukum penjara, hanya karena memberi tirta pengentas kepada warganya sendiri yaitu warga Pande. Mungkin dalam sejarah Bali hal ini merupakan keunikan bahwa seorang Sira Mpu dijatuhi hukuman penjara setahun hanya karena memberikan tirta pengentas kepada warganya sendiri.

Kedua, Ada perbuatan yang namanya ’Asisia-sisia (sambuka)’ yang kepada pelakunya dapat dipidana hukuman bunuh oleh raja. Paham aisia-sisia ini jugalah yang dipakai dasar oleh Raad Kerta di Gianyar dalam menangani perkara Pande Beng pada tahun 1911 s/d tahun 1913.

Ketiga, perbuatan asisia-sisia itu dikatagorikan sebagai perbuatan kriminal dan disamakan dengan kesalahan ’Asumundung’ dan kepada pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati oleh raja. Arti arfiah dari asumundung adalah anjing yang terusir.

Dalam dossier Korn No.213 Leiden tidak terdapat dokumen-dokumen lain yang bersangkutan dengan perkara Pande Pohmanis, seperti halnya dengan perkara Pande Beng, sehingga dengan demikian tidak dapat diketahui seluk beluk jalan atau proses peradilan terhadap Pan Siteb dan Sira Mpu Pohmanis.

Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 13"

Dokumen nomor 13 memuat advis Lid-lid Raad Kerta di Denpasar atas vonis Raad Kerta di Denpasar yang memutus perkara antara Pande Siteb dan Sira Mpu Pohmanis dengan Desa Adat Pohmanis.
Advis itu antara lain menegaskan sebagai berikut:
"Untuk meneguhkan paham kami, Lid-lid Raad Kerta Denpasar, yaitu tentang kesalahannya pesakitan-pesakitan Pan Siteb dan Sire Mpu, yang dijatuhkan (EYD: dijatuhi) hukuman masing-masing dengan penjara setahun lamanya, lantaran mereka itu telah melakukan pekerjaan mengaben, yang mana yang mana tersebut kesalahan ’Asisia-Sisia (sembuka)’ sebagai yang termaktub diatas vonnis Raad Kerta Denpasar No.: 116/1926/Crimineel, karena pada hemat kami kesalahan tersebut agaknya setimbang dengan kesalahan yang dinamakan ’asumundung’".
Demikianlah Lid-lid Raad Kerta di Denpasar, Sang Gde Ketut Telaga Punia dan Sang Gde Wayan Mider mengawali advisnya kepada Raad Kerta di Denpasar, tertanggal 12 Oktober 1926, sebagai dukungan tertulis atas vonis Raad Kerta di Denpasar nomor 116/1926/Crimineel.
Ada tiga hal yang patut dicermati dan dianalisis dari advis tersebut:
Pertama, Seorang Sira Mpu dalam perkara ini Sira Mpu Pohmanis, dihukum penjara, hanya karena memberi tirta pengentas kepada warganya sendiri yaitu warga Pande. Mungkin dalam sejarah Bali hal ini merupakan keunikan bahwa seorang Sira Mpu dijatuhi hukuman penjara setahun hanya karena memberikan tirta pengentas kepada warganya sendiri.
Kedua, Ada perbuatan yang namanya ’Asisia-sisia (sambuka)’ yang kepada pelakunya dapat dipidana hukuman bunuh oleh raja. Paham aisia-sisia ini jugalah yang dipakai dasar oleh Raad Kerta di Gianyar dalam menangani perkara Pande Beng pada tahun 1911 s/d tahun 1913.
Ketiga, perbuatan asisia-sisia itu dikatagorikan sebagai perbuatan kriminal dan disamakan dengan kesalahan ’Asumundung’ dan kepada pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati oleh raja. Arti arfiah dari asumundung adalah anjing yang terusir.
Dalam dossier Korn No.213 Leiden tidak terdapat dokumen-dokumen lain yang bersangkutan dengan perkara Pande Pohmanis, seperti halnya dengan perkara Pande Beng, sehingga dengan demikian tidak dapat diketahui seluk beluk jalan atau proses peradilan terhadap Pan Siteb dan Sira Mpu Pohmanis.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 12"

Dokumen nomor 12 memuat surat Klian Patus Kaja kauh yang "dipersembahkan kehadapan Tuan Controleur Kota yang bersemayam di Kota Onderafdeling Gianyar". Dalam surat itu Klian Patus Kaja kauh, yang anggotanya adalah warga Pande, merasa diperlakukan tidak adil dalam perkara sebidang tanah yang seharusnya menjadi peruntukan I Pande Cekug, atas gugatan Klian-Klian patus yang lainnya, yang mayoritas penduduknya bukan warga Pande. Raad Kerta Gianyar dalam keputusannya nomor 63/Sipil 1928, tertanggal 26 September 1928, mengalahkan I Pande Cekug dan memenangkan I Pande Sukrata, karena Klian-Klian yang lainnya di desa Beng perpihak kepada I Pande Sukrata, karena dia masih mau tunduk menggunakan tirta Pedanda.

Dalam akhir suratnya Klian Patus Kaja Kauh memohon kepada Kontrolir Gianyar sebagai berikut: "Dalam pada ini kami Banjar Pande Wesi mohon dengan sangat pengadilan pengadilan Paduka Kanjeng Tuan, sudi kiranya melimpahkan atas kemurahannya, dan jika tiada menjadi kesalahan-kesalahan bagi kami dan kemurkaan Paduka Kanjeng Tuan sam kami, kami mohon nyucuk (diploma) Paduka Kanjeng Tuan, agar berkurang kami dapat gangguan dari pihak-pihak yang berpenghulu Brahmana adanya".
Syukurlah seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan pendidikan serta dengan makin mendalamnya pengetahuan umat tentang agamanya, warga Pande Beng hidup rukun kembali dengan warga desanya, hidup saling menghormatidengan sesama warga desanya dan bersama-sama dengan warga desa lainnya ikut membangun desanya.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 12"

Dokumen nomor 12 memuat surat Klian Patus Kaja Kauh yang "Dipersembahkan kehadapan Tuan Controleur Kota yang bersemayam di Kota Onderafdeling Gianyar". Dalam surat itu Klian Patus Kaja Kauh, yang anggotanya adalah warga Pande, merasa diperlakukan tidak adil dalam perkara sebidang tanah yang seharusnya menjadi peruntukan I Pande Cekug, atas gugatan Klian-Klian Patus yang lainnya, yang mayoritas penduduknya bukan warga Pande. Raad Kerta Gianyar dalam keputusannya nomor 63/Sipil 1928, tertanggal 26 September 1928, mengalahkan I Pande Cekug dan memenangkan I Pande Sukrata, karena Klian-Klian yang lainnya di desa Beng perpihak kepada I Pande Sukrata, karena dia masih mau tunduk menggunakan tirta Pedanda.
Dalam akhir suratnya Klian Patus Kaja Kauh memohon kepada Kontrolir Gianyar sebagai berikut: "Dalam pada ini kami Banjar Pande Wesi mohon dengan sangat pengadilan pengadilan Paduka Kanjeng Tuan, sudi kiranya melimpahkan atas kemurahannya, dan jika tiada menjadi kesalahan-kesalahan bagi kami dan kemurkaan Paduka Kanjeng Tuan, kami mohon nyucuk (diploma) Paduka Kanjeng Tuan, agar berkurang kami dapat gangguan dari pihak-pihak yang berpenghulu Brahmana adanya".
Syukurlah seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan pendidikan serta dengan makin mendalamnya pengetahuan umat tentang agamanya, warga Pande Beng hidup rukun kembali dengan warga desanya, hidup saling menghormatidengan sesama warga desanya dan bersama-sama dengan warga desa lainnya ikut membangun desanya.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 11"

Dalam Dossier Korn No. 213, sama sekali tidak terdapat dokumen yang menyangkut proses/jalannya peradilan di Raad Kerta Gianyar mengenai gugatan Dewa Manggis terhadap I Kotong dkk. Yang ada dalam Dossier Korn hanyalah vonis Raad Kerta di Gianyar tertanggal 13 September 1913 , yang menjatuhkan hukuman kepada pesakitan-pesakitan berikut :

Pertama; I Kotong, a) karena Walat Sobrah, yaitu perlawanan terhadap raja, b) karena sadtetayi yaitu penolakan perintah yang diberikan oleh pemerintah, kesalahan yang dapat dihukum menurut Kitab Hukum Agama dan Adiagama Bali dan memutuskan pengucilan keluar Bali seumur hidup.

Kedua; I Ingkong, karena Sadtetayi ulah tan ulah, yaitu sebagai pimpinan justru mendukung bawahan untuk tidak mematuhi perintah yang diberikan Negara, dinyatakan bersalah sesuai Kitab Hukum Agama dan Adiagama Bali dengan hukuman dikucilkan keluar daerah, ke Jemberana selama tiga tahun.
Ketiga; I Baruk, karena Sakaraita Sadtetayi, yaitu ikut serta dalam pembangkangan melawan perintah Negara dan dinyatakana bersalah sesuai Kitab Hukum Agama dan Adiagama Bali dengan pengucilan keluar daerah, ke jemberana selama tiga tahun.
Keempat; I Tomblos, Kelima: I Brasut, Keenam; I Rame, karena Satetayi Eweh Ujar Dulu, yaitu menghina raja dan tidak memenuhi perintah Negara, dinyatakan bersalah sesuai dengan Kitab Hukum Agama dan Adiagama Bali, masing-masing dijatuhi hukuman dibuang ke pulau Lombok, berturut-turut untuk dua tahun, satu tahun dan satu tahun.
Dengan catatan bahwa sambil menunggu keputusan ini, untuk sementara tetap dalam tahanan.
Pada tanggal 1 Nopember 1913, Residen Bali dan Lombok dengan Keputusan No. 7259/10 mengukuhkan keputusan Raad Kerta Gianyar dengan antara lain mengubah keputusan untuk terdakwa I Kotong, dari hukuman dikucilkan keluar Bali seumur hidup menjadi pembuangan keluar Bali selama delapan tahun.
Perlu diperhatikan bahwa vonis untuk I Kotong dkk, sama sekali tidak membatalkan keputusan Residen Bali dan Lombok tertanggal 16 April 1913 tentang pemakaian tirta Mpu dan penggunaan wadah/bade bertumpang bagi warga Pande, yang telah dibahas dimuka pada waktu membahas dokumen no. 9.
Dalam pembahasan Raad Kerta Gianyar sebelum keluarnya vonis tertanggal 13 September 1913, mungkin telah terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara Leider (Pimpinan) Raad Kerta Gianyar, Kontrolir Schultz, dengan voorzitter (Pengawas) I Dewa Agung Ngurah dan anggota Raad Kerta Gianyar lainnya.
Hal ini jelas tergambar dari kalimat yang mendahului tanda tangan Kontrolir Schultz yang berbunyi: "Seperti tercantum diatas dengan sebagian tidak menerima usul saya".
Perubahan yang dilakukan Residen Bali dan Lombok pada waktu mengukuhkan vonis itu, seperti telah dikemukakan diatas, mungkin terjadi karena adanya catatan dari Kontrolir Schultz.
Dengan keluarnya vonnis untuk I Kotong dkk, maka berakhirlah perkara Babak Kedua antara Pande Beng melawan penguasa Gianyar.
Pengaruh kemenangan Pande Beng dalam usahanya menggugat ketidakadilan dengan menuntut diizinkannya pemakaian tirta Mpunya sendiri dan penggunaan wadah/bade bertumpang, sangat besar pengaruhnya terhadap Pande-Pande di desa-desa yang lain di Bali.
Karena pengaruh itu maka setelah kemenangan Pande Beng, timbul pergolakan di beberapa desa di Bali. Banyak perkara antara Pande dengan desa adatnya yang masih belum bisa/mau menerima warga Pande menggunakan tirta dari Mpunya sendiri dan menggunakan wadah/bade bertumpang, seperti yang akan diuraikan lebih lanjut pada waktu membahas dokumen nomor 14.

Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 11"

Dalam Dossier Korn No. 213, sama sekali tidak terdapat dokumen yang menyangkut proses/jalannya peradilan di Raad Kerta Gianyar mengenai gugatan Dewa Manggis terhadap I Kotong dkk. Yang ada dalam Dossier Korn hanyalah vonis Raad Kerta di Gianyar tertanggal 13 September 1913 , yang menjatuhkan hukuman kepada pesakitan-pesakitan berikut :
Pertama; I Kotong, a) karena Walat Sobrah, yaitu perlawanan terhadap raja, b) karena sadtetayi yaitu penolakan perintah yang diberikan oleh pemerintah, kesalahan yang dapat dihukum menurut Kitab Hukum Agama dan Adiagama Bali dan memutuskan pengucilan keluar Bali seumur hidup.
Kedua; I Ingkong, karena Sadtetayi ulah tan ulah, yaitu sebagai pimpinan justru mendukung bawahan untuk tidak mematuhi perintah yang diberikan Negara, dinyatakan bersalah sesuai Kitab Hukum Agama dan Adiagama Bali dengan hukuman dikucilkan keluar daerah, ke Jemberana selama tiga tahun.
Ketiga; I Baruk, karena Sakaraita Sadtetayi, yaitu ikut serta dalam pembangkangan melawan perintah Negara dan dinyatakan bersalah sesuai Kitab Hukum Agama dan Adiagama Bali dengan pengucilan keluar daerah, ke jemberana selama tiga tahun.
Keempat; I Tomblos, Kelima: I Brasut, Keenam; I Rame, karena Satetayi Eweh Ujar Dulu, yaitu menghina raja dan tidak memenuhi perintah Negara, dinyatakan bersalah sesuai dengan Kitab Hukum Agama dan Adiagama Bali, masing-masing dijatuhi hukuman dibuang ke pulau Lombok, berturut-turut untuk dua tahun, satu tahun dan satu tahun.
Dengan catatan bahwa sambil menunggu keputusan ini, untuk sementara tetap dalam tahanan.
Pada tanggal 1 Nopember 1913, Residen Bali dan Lombok dengan Keputusan No. 7259/10 mengukuhkan keputusan Raad Kerta Gianyar dengan antara lain mengubah keputusan untuk terdakwa I Kotong, dari hukuman dikucilkan keluar Bali seumur hidup menjadi pembuangan keluar Bali selama delapan tahun.
Perlu diperhatikan bahwa vonis untuk I Kotong dkk, sama sekali tidak membatalkan keputusan Residen Bali dan Lombok tertanggal 16 April 1913 tentang pemakaian tirta Mpu dan penggunaan wadah/bade bertumpang bagi warga Pande, yang telah dibahas dimuka pada waktu membahas dokumen no. 9.
Dalam pembahasan Raad Kerta Gianyar sebelum keluarnya vonis tertanggal 13 September 1913, mungkin telah terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara Leider (Pimpinan) Raad Kerta Gianyar, Kontrolir Schultz, dengan voorzitter (Pengawas) I Dewa Agung Ngurah dan anggota Raad Kerta Gianyar lainnya.
Hal ini jelas tergambar dari kalimat yang mendahului tanda tangan Kontrolir Schultz yang berbunyi: "Seperti tercantum diatas dengan sebagian tidak menerima usul saya".
Perubahan yang dilakukan Residen Bali dan Lombok pada waktu mengukuhkan vonis itu, seperti telah dikemukakan diatas, mungkin terjadi karena adanya catatan dari Kontrolir Schultz.
Dengan keluarnya vonnis untuk I Kotong dkk, maka berakhirlah perkara Babak Kedua antara Pande Beng melawan penguasa Gianyar.
Pengaruh kemenangan Pande Beng dalam usahanya menggugat ketidakadilan dengan menuntut diizinkannya pemakaian tirta Mpunya sendiri dan penggunaan wadah/bade bertumpang, sangat besar pengaruhnya terhadap Pande-Pande di desa-desa yang lain di Bali.
Karena pengaruh itu maka setelah kemenangan Pande Beng, timbul pergolakan di beberapa desa di Bali. Banyak perkara antara Pande dengan desa adatnya yang masih belum bisa/mau menerima warga Pande menggunakan tirta dari Mpunya sendiri dan menggunakan wadah/bade bertumpang, seperti yang akan diuraikan lebih lanjut pada waktu membahas dokumen nomor 14.

Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 10"

Serangan balik Raja Gianyar untuk menebus kekalahannya nampak dengan jelas termuat dalam dokumen nomor 10.


Yang dijadikan dasar gugatan oleh Raja Gianyar dalam upayanya memenangkan perkaranya, bukan lagi masalah larangan pemakaian tirta Mpu dan larangan menggunakan wadah/bade bertumpang, tetapi yang dijadikan pokok perkara adalah pembangkangan tokoh-tokoh Pande Beng terhadap perintah Raja Gianyar. Gampang sekali bagi raja pada masa itu mencari-cari kesalahan warga Pande Beng.
Kalau dalam perkara tahap pertama Pande Beng yang menggugat, maka pada perkara tahap kedua, tokoh-tokoh Pande menjadi tergugat.
Kalau dulu Raja Gianyar marah karena dimata-matai olej mata-mata Kontroli Gianyar yang bernama I Gotot, yang berasal dari Warga Pande Besi dari Beng, kini Raja Gianyarlah yang memata-matai Pande Beng, dan jumlah spionnya tidak hanya satu, tetapi berjumlah 4 orang, yaitu: Sang Bakar, I Dudug, Ngakan Ketut Giyur dan Ngakan Putu Keser.
Yang dijadikan sasaran oleh mata-mata itu adalah tokoh-tokoh Pande Beng seperti I Kotong, tokoh utama dalam perkara tahap kedua, I Ingkong, klian banjar Kaja Kauh, I Baruk, I Tomblos tokoh yang mengantar Pande Beng memenangkan perkara tahap pertama, I Brasut dan I Rane.
Dalam perkara babak kedua yang disasar adalah perorangan, bukan seluruh warga Pande Beng, dan jelas bahwa ada usaha Dewa Manggis membawa-bawa atau melibatkan desa adat dalam upayanya menekan I Kotong dkk.
Ada 2 tuduhan yang dikemukan dalam poces verbal Raja Gianyar tertanggal 17 Juni 1913, yang ditutup pada tanggal 23 Juni 1913, yaitu:
Pertama, warga Pande tidak mau mengeluarkan dana punia (urunan) untuk odalan Pura Puseh dan urunan untuk biaya penyepian. Sikap itu dianggap menentang perintah Raja, padahal alasan Pande Beng tidak mau membayar urunan karena mereka belum mau menerima hasil pemilihan Perbekel Beng yang baru yaitu I Nyoman Gambuan.
Kedua, ditudihkan bahwa warga Pande Beng tidak mau membayar urunan, karena dihasut oleh I Kotong yang ngancuk-ngancukin warga Pande Beng agar menolak membayar iuran. Dewa Manggis mendapat laporan tentang adanya hasutan dari I Kotong kepada warga Pande adalah berdasarkan lapuran dari mata-mata Raja.
Perbuatan I Kotong dianggap kriminal atau kejahatan, dan tidak lama kemudian pada tanggal 13 September 1913, turunlah vonnis Raad Kerta Gianyar, yang kemudian dikukuhkan dengan beberapa perubahan oleh Residen Bali dan Lombok, dengan vonnisnya tertanggal 1 Nopember 1913, No. 7259/10 seperti terungkap dalam dokumen nomor 11.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 10"

Serangan balik Raja Gianyar untuk menebus kekalahannya nampak dengan jelas termuat dalam dokumen nomor 10.

Yang dijadikan dasar gugatan oleh Raja Gianyar dalam upayanya memenangkan perkaranya, bukan lagi masalah larangan pemakaian tirta Mpu dan larangan menggunakan wadah/bade bertumpang, tetapi yang dijadikan pokok perkara adalah pembangkangan tokoh-tokoh Pande Beng terhadap perintah Raja Gianyar. Gampang sekali bagi raja pada masa itu mencari-cari kesalahan warga Pande Beng.
Kalau dalam perkara tahap pertama Pande Beng yang menggugat, maka pada perkara tahap kedua, tokoh-tokoh Pande menjadi tergugat.
Kalau dulu Raja Gianyar marah karena dimata-matai oleh mata-mata Kontrolir Gianyar yang bernama I Gotot, yang berasal dari Warga Pande Besi dari Beng, kini Raja Gianyarlah yang memata-matai Pande Beng, dan jumlah spionnya tidak hanya satu, tetapi berjumlah 4 orang, yaitu: Sang Bakar, I Dudug, Ngakan Ketut Giyur dan Ngakan Putu Keser.
Yang dijadikan sasaran oleh mata-mata itu adalah tokoh-tokoh Pande Beng seperti I Kotong, tokoh utama dalam perkara tahap kedua, I Ingkong, klian banjar Kaja Kauh, I Baruk, I Tomblos tokoh yang mengantar Pande Beng memenangkan perkara tahap pertama, I Brasut dan I Rane.
Dalam perkara babak kedua yang disasar adalah perorangan, bukan seluruh warga Pande Beng, dan jelas bahwa ada usaha Dewa Manggis membawa-bawa atau melibatkan desa adat dalam upayanya menekan I Kotong dkk.
Ada 2 tuduhan yang dikemukan dalam poces verbal Raja Gianyar tertanggal 17 Juni 1913, yang ditutup pada tanggal 23 Juni 1913, yaitu:
Pertama, warga Pande tidak mau mengeluarkan dana punia (urunan) untuk odalan Pura Puseh dan urunan untuk biaya penyepian. Sikap itu dianggap menentang perintah Raja, padahal alasan Pande Beng tidak mau membayar urunan karena mereka belum mau menerima hasil pemilihan Perbekel Beng yang baru yaitu I Nyoman Gambuan.
Kedua, dituduhkan bahwa warga Pande Beng tidak mau membayar urunan, karena dihasut oleh I Kotong yang ngancuk-ngancukin warga Pande Beng agar menolak membayar iuran. Dewa Manggis mendapat laporan tentang adanya hasutan dari I Kotong kepada warga Pande adalah berdasarkan lapuran dari mata-mata Raja.
Perbuatan I Kotong dianggap kriminal atau kejahatan, dan tidak lama kemudian pada tanggal 13 September 1913, turunlah vonnis Raad Kerta Gianyar, yang kemudian dikukuhkan dengan beberapa perubahan oleh Residen Bali dan Lombok, dengan vonnisnya tertanggal 1 Nopember 1913, No. 7259/10 seperti terungkap dalam dokumen nomor 11.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

Sunday, December 21, 2008

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 9"

Dokumen ini memuat surat Residen Bali dan Lombok kepada Residen Bali Selatan, tertanggal 16 April 1912, berbahasa Belanda, tulisan tangan. Surat itu merupakan jawaban atas surat kontrolir Gianyar tertanggal 18 Maret 1912, No. 306. Dokumen itu memuat keputusan yang memenangkan warga Pande Beng.

Dibawah ini disampaikan butir-butir penting dari surat Residen Bali dan Lombok sebagai berikut:


#."Jadinya Mpu itu berhak membuat tirta dan memberikan tirta, walupun ia bukan Pedanda Brahmana".
#."Beberapa warga Pande dari Beng selanjutnya meminta kepada saya juga dapat membuat keputusan tentang wadah/bade yang digunakan pada pembakaran jenazah, menentukan berapa banyak tumpang/tingkat yang mereka boleh pakai, sedangkan Stedehouder Gianyar Dewa Manggis yang semula membolehkan memakai tumpang 7 (tujuh) tetapi kemudian menurunkannya menjadi tumpang 5 (lima)".
#."Berdasarkan pertimbangan, bahwa para Pande dari Petemon di wilayah Buleleng menggunakan tumpang 7 (tujuh) dan menurutr Pedanda Raad Kerta tidak seorangpun merasa tersinggung (keberatan), keterangan Raad Kerta itu juga mengatakan sesuai adat Purwa Dresta, yaitu prilaku-prilaku tradisi dari dahulu kala dan diminta kepada saya agar menasehati (memberi advis) supaya semua warga Pande dibolehkan mengunakan wadah bertumpang 7 (tujuh), oleh saya dapat disetujui dan diputuskan".
#."Namun permohonan mereka supaya dapat dinyatakan menjadi berkasta Ksatria oleh saya tidak dapat dipenuhi dan mereka harus dianggap sebagai kesamen atau sudra".
Demikianlah butir-butir penting dari dokumen nomor 9 dan dengan demikian berakhirlah babak pertama perkara Pande Beng melawan Dewa Manggis dengan kemenangan dipihak warga Pande, dua dari tiga tuntutan warga Pande, pertama dibolehkan memakai tirta dari Mpu-nya sendiri, kedua dibenarkan mempergunakan wadah bertumpang 7 sudah dipenuhi, sedangkan tuntutan mereka sebagai Ksatria ditolak.
Sebagaimana diuraikan pada waktu menelaah dokumen-dokumen yang lalu, warga Pande Beng menolak disebut Sudra atau Jaba. Mereka bersiteguh menyatakan diri mereka bangsa Pande.
Memang dalam menyelesaikan perkara Pande lainnya yang terjadi ditempat-tempat yang lain, Raad Kerta pada umumnya berpegang kepada keputusan seperti terurai diatas, kecuali untuk perkara Pande Pohmanis yang akan diuraikan ketika menelaah dokumen nomor 13.
Diatas dikemukakan bahwa perkara Pande Beng ini, adalah baru perkara babak pertama saja, sebab Raja Gianyar pada tanggal 17 Juni 1913, hanya 14 bulan kemudian setelah perkara babak pertama itu, mengadakan pukulan balik kepada Pande Beng, sebagaimana akan terungkap dalam dokumen nomor 10.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 9"

Dokumen ini memuat surat Residen Bali dan Lombok kepada Residen Bali Selatan, tertanggal 16 April 1912, berbahasa Belanda, tulisan tangan. Surat itu merupakan jawaban atas surat kontrolir Gianyar tertanggal 18 Maret 1912, No. 306. Dokumen itu memuat keputusan yang memenangkan warga Pande Beng.
Dibawah ini disampaikan butir-butir penting dari surat Residen Bali dan Lombok sebagai berikut:
#."Jadinya Mpu itu berhak membuat tirta dan memberikan tirta, walupun ia bukan Pedanda Brahmana".
#."Beberapa warga Pande dari Beng selanjutnya meminta kepada saya juga dapat membuat keputusan tentang wadah/bade yang digunakan pada pembakaran jenazah, menentukan berapa banyak tumpang/tingkat yang mereka boleh pakai, sedangkan Stedehouder Gianyar Dewa Manggis yang semula membolehkan memakai tumpang 7 (tujuh) tetapi kemudian menurunkannya menjadi tumpang 5 (lima)".
#."Berdasarkan pertimbangan, bahwa para Pande dari Petemon di wilayah Buleleng menggunakan tumpang 7 (tujuh) dan menurutr Pedanda Raad Kerta tidak seorangpun merasa tersinggung (keberatan), keterangan Raad Kerta itu juga mengatakan sesuai adat Purwa Dresta, yaitu prilaku-prilaku tradisi dari dahulu kala dan diminta kepada saya agar menasehati (memberi advis) supaya semua warga Pande dibolehkan mengunakan wadah bertumpang 7 (tujuh), oleh saya dapat disetujui dan diputuskan".
#."Namun permohonan mereka supaya dapat dinyatakan menjadi berkasta Ksatria oleh saya tidak dapat dipenuhi dan mereka harus dianggap sebagai kesamen atau sudra".
Demikianlah butir-butir penting dari dokumen nomor 9 dan dengan demikian berakhirlah babak pertama perkara Pande Beng melawan Dewa Manggis dengan kemenangan dipihak warga Pande, dua dari tiga tuntutan warga Pande, pertama dibolehkan memakai tirta dari Mpu-nya sendiri, kedua dibenarkan mempergunakan wadah bertumpang 7 sudah dipenuhi, sedangkan tuntutan mereka sebagai Ksatria ditolak.
Sebagaimana diuraikan pada waktu menelaah dokumen-dokumen yang lalu, warga Pande Beng menolak disebut Sudra atau Jaba. Mereka bersiteguh menyatakan diri mereka bangsa Pande.
Memang dalam menyelesaikan perkara Pande lainnya yang terjadi ditempat-tempat yang lain, Raad Kerta pada umumnya berpegang kepada keputusan seperti terurai diatas, kecuali untuk perkara Pande Pohmanis yang akan diuraikan ketika menelaah dokumen nomor 13.
Diatas dikemukakan bahwa perkara Pande Beng ini, adalah baru perkara babak pertama saja, sebab Raja Gianyar pada tanggal 17 Juni 1913, hanya 14 bulan kemudian setelah perkara babak pertama itu, mengadakan pukulan balik kepada Pande Beng, sebagaimana akan terungkap dalam dokumen nomor 10.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 8"

Dokumen nomor urut 8 yang aslinya berbahasa Belanda, tertanggal 18 Maret 1912, adalah surat dari Kontrolir Gianyar, kepada Asisten Bali Selatan yang isinya melaporkan hasil pemeriksaan tanggal 16 Maret 1912, seperti yang substansi telah diuraikan ketika menelaah dokumen nomor 4, yang menyepakati bahwa: "Pande dari Desa Beng dan Sengguhu dari Desa Blahbatuh dan Batubulan tidak salah dan tidak bisa dihukum walaupun mereka tidak memakai tirta dari Pedanda. Yang salah adalah yang memberi tirta dan perbuatan itu patut dihukum".
Perbuatan memberi tirta pengentas dari sulinggih/pendeta yang tidak mendapat izin dari Raja dan tidak mendapat anugrah dari Pedanda sebut Sambuka (samuka) atau Asisia-sisia dan menurut lontar Indrakila perbuatan itu dapat di dijatuhi hukuman mati oleh raja.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 7"

Dokumen ini berjudul panjang: Hal-hal yang menjadikan marahnya Dewa Manggis kepada orang-orang Pande Besi di Desa Beng (Gianyar).
Seperti telah dipaparkan pada waktu membicarakan dokumen nomor 1, Pande Beng mempertanyakan mengapa hanya mereka saja yang dipaksa, sementara rekan-rekan mereka sesama Pande di desa-desa yang lain tidak dipaksa memakai air tirtanya Pedanda.
Dalam dokumen nomor urut 7 dijelasakan dengan gamblang mengapa Dewa Manggis berbuat seperti itu: "Sebarunya negeri Gianyar diaturkan oleh Dewa Manggis kepada Sri Governement, maka Paduka Tuan Schwartz, ada membikin mata-mata orang nama I Gogot, Pande Besi di Beng, dengan pengetahuannya Dewa Manggis, pekerjaannya mata-mata itu buat mencahari keterangan segala hal apa-apa didalam jajahan negeri Gianyar, istimewa pula dinegeri Bangli dan Klungkung. Lain dari pada itu, dengan sembunyi Paduka Tuang Schwartz suruh mata-mata itu menilik rusianya Dewa Manggis".
Atas jasa-jasanya sebagai mata-mata, sebagai ucapan terimaksih kepadanya, Kontroloir Schwartz memerintahkan Dewa Manggis agar memberi hadiah sebidang tanah kepada I Gogot, tetapi kemudian, tanpa sepengatahuan Kontrolir Schwartz, tanah itu dicabut kembali, "karena I Gogot diketahui oleh Dewa Manggis, bukanny mata-mata buat mencahari rusian seperti tersebut diatas saja, melainkan juga menjadi mata-mata akan menunjukkan tingkah lakunya Dewa Manggis yang kurang pantes".
Inilah alasan terpenting mengapa Dewa Manggis marah kepada Pande Beng yang dilampiaskannya melalui pemaksaan kepada Pande Beng agar memakai tirta Pedanda dan melarang Pande Beng memakai wadah/bade metumpang dan memaksa mereka mengaku sudra, disamping alasan-alasan lain yang dicari-cari, misalnya mata-mata raja melapurkan bahwa warga Pande sering membandel, menolak perintah raja.
Karena tidak tahan menghadapi keroyokan kerajaan-kerajaan yang berbatasan dengannya, maka pada tanggal 16 Januari 1900 Dewa Manggis memutuskan menyerahkan kerajaan kepada Pemerintahan Hindia Belanda, agar terbebas dari keroyokan itu.
Demi keotentikannya bersama ini dikutipkan alih aksara isi surat penyerahan itu, yang aslinya tertulis dalam huruf dan bahasa Bali sebagai berikut: "wus punika, titiang ngaturang surat, ring sawitran titiang, padagingan, titiang nguninga ring paliggih sri paduka sawitran titiang, sekadi mangkin, sawireh sagsag jagat druwen sri paduka sawitran titiang, sane kagamel antuk titiang, ring wawengku gianyar, boya kagamel antuk titiang, mungguwing mangkin, titiang ndawegang nunas tulungan ring sri paduka sawitran titiang, jagat gianyar punika, aturang titiang ring sawitran titiang, sara kenak pakayunan sawitran titiang, perentah jagat gianyar punika, sakewenten pinanas titiang ring sri paduka sawitran titiang, mangda kari teher kagambel antuk titiang, jagat gianyar punika, sekadi mangkin".
Terjemahannya: "setelah ini, saya menyampaikan surat kepada sahabat saya, isinya, saya memberitahukan kepada yang terhormat Sri Paduka sahabat saya, sekarang ini, karena rusak (kacau balau) negara milik Sir Paduka sahabat saya, yang saya pegang di wilayah Gianyar, tidak bisa saya pegang (perintah), terutama sekarang, saya dengan hormat minta tolong kepada Sri Paduka sahabat saya, negara Gianyar itu, saya serahkan kepada sahabat saya, tersebut, enaknya pikiran sahabat saya, memerintah negara Gianyar itu, tetapi, permintaan saya kepada Sri Paduka sahabat saya, supaya terus tetap dipegang oleh saya (supaya terus saya pegang) negara Gianyar itu seperti sekarang". (dikutip dari buku berjudul Bali Pada Abad XIX karya Ida Anak Agung Gde Agung).
Permohonan raja Gianyar baru mendapat persetujuan dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 8 Maret 1900, dan sejak saat itu secara resmi wilayah Gianyar berada dibawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan raja Gianyar dimakzulkan sebagai raja, dan kemudian diangkat sebagai pegawai tinggi, sebagai seorang Stedehourder (wakil) dari pemerintah Hindia Belanda di Gianyar, dibawah pengawasan seorang kontrolir.
Dari pemaparan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada waktu perkara Pande Beng, kekuasaan Dewa Manggis sebagai raja yang berkuasa mutlak telah berakhir, karena yang memerintah sebenarnya adalah Kontrolir yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Tidak terbayangkan nasib apa yang akan menimpa warga Pande Beng, seandainya perkaranya melawan Raja Gianyar terjadi sebelum Bali dijajah Belanda, ketika kekuasaan raja-raja di Bali pra penjajahan adalah sangat absolut.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

Wednesday, December 17, 2008

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 6"

Dokumen ini berjudul Prasasti Pande Besi di Beng, merupakan salinan prasasti Pande di Beng, isinya adalah :
Maka menoeroet boenjinja Prasasti itoe, Bhatara Brahma menoeroenkan Empoe Bradah, seoepama Bhatara Brahma sendiri masoek dalam badannja Empoe Brahdah, maka oleh karena saktinja Empoe Bradah lantas masoeklah ianja kepada orang manoesia jang sakti laloe bernama Pande Adji Wesi, pekerdjaannja mendjadi Pande Besi.
Anoegrahnja Bhatara Indra kepada Pande Adji Wesi, bolehlah ianja dan toeroenan toeroenannja jang soedah mengerti atas hal weda, Pande akan maweda sendiri atau kasih air tirta kepada majit sanak familinja. Tiada sekali-kali wadjib minta air tirta kepada Brahmana, djika larangan ini dilanggar, tentoelah binasa Pande besi itoe dan djoega Padanda jang kasih air tirta, lagipoela roesaklah keamanannja negeri.
Dan lagi orang-orang lain dari bangsa Pande besi, meskipoen Radja sekalipoen tiada boleh sekali-kali ambil pakai bini prawan-prawannja bangsa Pande besi, kalau dilanggar tentoelah akan mendjadi binasa si Pande besi atau jang mengambilnja.
Lagi poela dalam prasati Pande Besi di Beng ada djoega terseboet weda-weda jang boleh dipeladjari siapa jang soedah mebersih (seperti Brahmana soedah djadi Padanda) ialah boleh maweda jang kasih air tirta kepada majit sanak familinja bangsa Pande Besi.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 5"

Dokumen ini memuat silsilah Pande Beng dari berbagai versi.

Ketiga Pedanda di Raad Kerta di Singaraja berkesimpulan dan merekomendasikan kepada Residen Bali dan Lombok mengenai Pande Beng sebagai berikut :

"Maka yang tersebut didalam babad itu turunannya I Pande Kawi dilarang sekali-kali pada (baca: oleh) Betara Indra memakai tirtanya Pedanda, supaya dia bikin toya sendiri; dia punya bangsa kaula atau kesamen".

Lebih jauh ketiga Pedanda Raad Kerta di Singaraja dengan tegas menyatakan bahwa leluhur Pande di Bali, yaitu Mpu Brahma Wisesa adalah kstaria, kedua-duanya putra beliau yaitu Mpu gandring dan Mpu Sumaguna serta putra Mpu Sumaguna, yaitu Haji Kepandeyan, tetap kstaria, sedangkan putra Haji Kepandeyan, yaitu Ngurah Kepandeyan turun titelnya menjadi wesia. Sementara itu semua putra-putra dari Ngurah Kepandeyan, turun menjadi kaula. Tidak ada penjelasan dari ketiga Pedanda Raad Kerta tersebut menjadi mengapa terjadi penurunan kasta pada warga Pande.
Sumber :

Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 5"

Dokumen ini memuat silsilah Pande Beng dari berbagai versi.


Ketiga Pedanda di Raad Kerta di Singaraja berkesimpulan dan merekomendasikan kepada Residen Bali dan Lombok mengenai Pande Beng sebagai berikut :


"Maka yang tersebut didalam babad itu turunannya I Pande Kawi dilarang sekali-kali pada (baca: oleh) Betara Indra memakai tirtanya Pedanda, supaya dia bikin toya sendiri; dia punya bangsa kaula atau kesamen".


Lebih jauh ketiga Pedanda Raad Kerta di Singaraja dengan tegas menyatakan bahwa leluhur Pande di Bali, yaitu Mpu Brahma Wisesa adalah kstaria, kedua-duanya putra beliau yaitu Mpu gandring dan Mpu Sumaguna serta putra Mpu Sumaguna, yaitu Haji Kepandeyan, tetap kstaria, sedangkan putra Haji Kepandeyan, yaitu Ngurah Kepandeyan turun titelnya menjadi wesia. Sementara itu semua putra-putra dari Ngurah Kepandeyan, turun menjadi kaula. Tidak ada penjelasan dari ketiga Pedanda Raad Kerta tersebut menjadi mengapa terjadi penurunan kasta pada warga Pande.



Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

Tuesday, December 16, 2008

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 4"

Proces Verbaal, atau berita acara adalah judul dokumen nomor 4, tertanggal 15 Maret 1912. Pada tanggal itu Sang Gde Putu Griya, Sang Gede Putu Ngurah dan Sang Gde Ktut Bagus, yaitu Pedanda-Pedanda dari Raad Kerta di Singaraja diperintahkan oleh Residen Bali dan Lombok agar pergi ke Gianyar untuk bersama sama Kontrolir dan Raja Gianyar serta Pedanda-Pedanda Raad Kerta di Gianyar dan Pedanda Raad Kerta di Klungkung, guna memeriksa surat Rekes bangsa Pande Wesi dari desa Beng.
Pada pemeriksaan itu terjadi tanya jawab yang substansi tidak berbeda jauh dengan tanya jawab seperti pada pemeriksaan yang termuat dalam dokumen nomor urut 3.
Berikut dikutipkan tanya jawab yang terjadi :
Tanya : Apa betul kamu tidak mau pakai air tirta bikinannya Pedanda?
Jawab : Betul
Tanya : Apa sebabnya kamu tidak mau pakai air tirta bikinannya Pedanda?
Jawab : Oleh karena dari dulu-dulu kala kami tidak pernah pakai air tirtanya dari Pedanda, sebab kami keturunan Pande Haji Wesi, dan ada kami punya pamancangah (prasasti), disitulah tersebut kami orang tidak boleh pakai air tirta dari Pedanda"
Tanya : Kalau kamu mati dimakah kamu ambil air tirta?
Jawab : Kami minta pada Empu di Slukadan Bangli"
Tanya : Apa betul kamu waktu diturunkan ngayah heerendienst (kerja rodi) oleh Paduka kanjeng Tuan Kontrolir di Gianyar, lantas kamu mengaku bangsa Brahmana?
Jawab : Kalau mengaku bangsa brahmana tidak, kalau mengaku satria betul.
Tanya : Apa sebab kamu negaku bangsa Satria?
Jawab : Dari sebab tersebut di kami punya pamancangah kami turunan bangsa satria.
Tanya : Apa ada yang panggil kamu pakai bahasa I Dewa, Pengakan, Bagus dan Sang?
Jawab : Tidak, Cuma orang-orang pada kami memakai bahasa Jro Pande dan lagi kalau ngaben, maka wadah kami (tempat mayat) diizinkan pakai tumpang tuju oleh I Dewa Manggis. Dari itulah sebab berani kami mengaku bangsa Satria.
Menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya, apakah dia (Dewa Manggis) memberi izin kepada Pande Beng mempergunakan wadah/bade tumpang tujuh, Dewa Manggis dengan tegas menjawab "Tidak". Beliau juga menyatakan bahwa Pande adalah bangsa Kawula (Sudra).
Setelah tim bersidang, akhirnya pada tanggal 16 Maret 1912 diambil keputusan yang akan diadviskan kepada Residen Bali dan Lombok: "maka timbangan kami orang sekalian, itu orang-orang Pande Wesi tersebut boleh juga tidak memakai air tirtanya Pedanda, dimana mana saja dia mau ambil air tirta boleh, akan tetapi jikalau ada orang kaula jadi Empu (Pedanda orang kaula) kalau dia tidak unjuk bertahu pada raja dan tidak minta panugrahan (idzin) pada pandita Brahmana, maka itu Empu tidak sekali-kali boleh kasi air toya pada orang mati; maka menurut bunyinya ceritra Indraloka, jikalau Brahmana, Satria, Wesia dan Sudra jadi Pandita (Empu) lantas dia tidak unjuk bertahu lebih dulu pada raja, atau tidak minta panugrahan pada Pandita Brahmana, maka Pandita (Empu) tidak boleh mengasi air tirta pada orang yang mati sebab membikin panas negri, wajib dihukum bunuh, maka orang yang minta tirta tidak ada kesalahannya".
Sebenarnya pada mulanya Pedanda-Pedanda Raad Kerta di Gianyar tidak setuju dengan keputusan yang diambil, tetapi karena kalah suara, ketiga pedanda Raad Kerta Gianyar akhirnya menyatakan persetujuannnya.
Ada tiga butir materi yang menonjol dari pertimbangan Raad Kerta diatas :
Pertama, ternyata gelar Pedanda adalah juga gelar bagi hakim di Raad Kerta walaupun yang bersangkutan bukan berasal dari Brahmana wangsa dan tidak/belum mediksa.
Kedua, orang yang minta tirta pada Mpu tidaklah salah, yang memberi tirtalah yang salah dan wajib dihukum bunuh.
Ketiga, bahwa sulinggih (Mpu) yang tidak mendapat persetujuan Raja dan pedanda, tetapi memberikan tirta pengentas wajib dihukum bunuh adalah atas perintah yang tercantum dalam lontar Indrakila.
Fajar kemenangan bagi Pande Beng sudah mulai menyingsing.
Mengenai Lontar/Kitab Hukum Indrakila akan dibahas lebih komprehensif dalam pembahasan dokumen nomor urut 13 dan 16, karena lontar Indrakila inilah yang selalu dipakai sebagai landasan hukum oleh Raad Kerta di Bali pada jaman itu dalam upayanya meredam, mematahkan, mengalahkan dan menjatuhkan hukuman kepada warga Pande.
Kendatipun demikian karena kemajuan jaman dan karena ketua Raad Kerta adalah Kontrolir Belanda yang tidak mau begitu saja merepakan bunyi lontar Indrakila, sejarah mencatat bahwa dalam perkara memperjuangkan kesetaraan dalam bidang kesulinggihan dna mengenai hak pemakaian wadah/bade bertumpang, warga Pande keluar sebagai pemenang, kecuali dalam perkara Pande Pohmanis, yang akan dibahas lebih mendalam pada waktu menelaah dokumen nomor 13.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

Monday, December 15, 2008

Dari dokumen nomor urut 3, yang berjudul Surat Pemeriksaan, tertanggal 30 Oktober 1911 pembaca dapat menyimak dan menikmati dialog yang sangat mengasyikan antara Kontrolir dan Raja Gianyar dengan I Tomblos. Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Ida Made Sakra, Kanca Raad Kerta di Singaraja, I Tomblos melaporkan keputusan yang dijatuhkan oleh Raad Kerta di Gianyar, yang disampaikan kepadanya pada tanggal 24 Mei 1911, sebagai berikut: "Kamu Pande sekalian, sekarang kamu bangsa Pande, mesti nuhur tirtanya Padanda, kalau kamu tidak nuhur tirtanya Padanda, mesti kamu diusir, kalau kamu tidak tetap menjadi sudra, kamu dibuang seumur".

Tidak terbayangkan oleh angkatan sekarang betapa berat hukuman bagi orang yang hanya karena tidak mau memakai tirta Pedanda, dan tidak mau mengaku sudra, menderita hukuman diusir dari desanya dan dibuang keluar desanya seumur hidupnya.

I Tomblos melaporkan kepada Ida Made Sakra, bahwa dia menolak keputusan itu dan mohon agar diizinkan mengajukan banding kepada residen Bali dan Lombok. Menanggapi penolakan I Tomblos dan kawan-kawan dan ketekadannya mohon diperkenankan membuat surat rekes kepada Residen Bali dan Lombok, kontrolir Gianyar tidak berkeberatan dan mempersilakannya. Ditegaskan olehnya bahwa selaku Kontrolir, bersama-sama dengan raja Gianyar, mereka akan tunduk atas keputusan apapun yang akan diambiloleh Residen Bali dan Lombok.

Dilaporkan pula oleh I Tomblos bahwa pada tanggal 27 Oktober 1911, dia bersama kawan-kawannya dipanggil kembali menghadap ke Raad Kerta di Gianyar, karena Kontrolir dan Raja Gianyar mendapat perintah dari Residen Bali dan Lombok, agar kedua penguasa di Gianyar itu menelusuri asal-usul Pande Beng,apakah keturunan Mpu Aji Wesi atau Mpu Saguna.

Dalam dialog tertanggal 27 Oktober 1911 itu terjadi dialog yang sangat menarik dan mengasyikan, yang menggambarkan betapa teguhnya pendirian Pande Beng, betapa tegar dan beraninya I Tomblos dkk. Pada pemeriksaan itu Kontrolir Gianyar dan Anak Agung Ngurah, yang mewakili ayahandanya memberondong I Tomblos dengan pertanyaan: "Apakah kamu punya bangsa?", yang dijawab dengan tegas oleh I Tomblos: "Saya punya bangsa Pande Wesi".


Kontrolir dan Anak Agung Ngurah langsung menangapinya: "Meski di Badung, walaupun di Gianyar Cuma ada dua bangsa saja, Sudra dan Triwangsa, yaitu yang manakah termasuk dalam bangsamu, bangsa Sudra atau Triwangsa?". Jawab I Tomblos: "Kalau Paduka bilang Cuma ada dua bangsa, maka saya ini bukanlah Sudra".


"Kalau kamu tidak mengaku Sudra, apakah kamu Triwangsa?"Sergah Anak Agung Ngurah. Betapa cerdas dan beraninya I Tomblos tergambar dari jawabannya yang lugas: "Dari itu supaya Paduka yang kasih nama, kalau saya ini bukan Sudra".


Jawaban yang cerdas dan sangat berani itu tentu bukan sebuah debat kusir atau bebungklingan (bersilat lidah gaya Bali), tetapi benar-benar menunjukan kualitas pribadi yang mengucapkannya.


Tidak terbayangkan sama sekali bahwa pada tahun 1911, hanya tiga tahun setelah Bali dijajah Belanda, ada orang Bali yang berani berbicara lugas seperti itu kepada rajanya, dan tidaka terbayangkan pula bahwa pada jaman dimana raja masih sangat berkuasa dan otoriter, ada warga kerajaan yang berani menggugat. Sungguh sebuah keluarbiasaan.


Karena sudah terdesak Anak Agung Ngurah mengeluarkan jurus pamungkasnya untuk mematikan langkah I Tomblos dkk: "Kalau begitu kalah sudah kamu punya perkara". Dasar Pemberani I Tomblos menanggapi: "Apakah sebabnya saya kalah? Apakah dari keputusannya Sri Paduka Kanjeng Tuan Besar?". Dijawab oleh Anak Agung Ngurah: "ya, dari keputusannya Tuan Besar dan Kanjeng Tuan Kontrolir bilang juga ya dari putusannya Tuan Residen".


Palu godam keputusanpun dihantamkan kepada warga Pande Beng: "Suruh itu I Pande supaya pakai air tirta Padanda, kalau tiada mau, biarlah dipenjara". Perintah Kontrolir Gianyar kepada Anak Agung Ngurah. Anak Agung Ngurah lantas meneruskan perintah itu kepada Perbekel Beng: "Kasih tahu itu I Pande supaya pakai air tirtanya Brahmana".


I Tomblos dkk tetap tidak mau dibilang kalah: "ya kalau sudah begitu, saya akan hatur bertahu lagi, dan tidak boleh hanya dibilang kalah". Yang dimaksud dengan hatur bertahu lagi adalah akan melaporkan keputusan itu, naik banding kepada Residen Bali dan Lombok di Singaraja.


Seperti diuraikan diatas I Tomblos dkk naik banding ke Residen Bali dan Lombok, dan semua penandatangan surat rekes itu dijadikan bogolan.


Tentu saja keterangan dan laporan I Tomblos kepada Kanca Ida Made Sakra dijadikan pertimbangan oelh Residen Bali dan Lombok dalam mengambil keputusan mengenai perkara Pande Beng.


Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 3"

Dari dokumen nomor urut 3, yang berjudul Surat Pemeriksaan, tertanggal 30 Oktober 1911 pembaca dapat menyimak dan menikmati dialog yang sangat mengasyikan antara Kontrolir dan Raja Gianyar dengan I Tomblos. Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Ida Made Sakra, Kanca Raad Kerta di Singaraja, I Tomblos melaporkan keputusan yang dijatuhkan oleh Raad Kerta di Gianyar, yang disampaikan kepadanya pada tanggal 24 Mei 1911, sebagai berikut: "Kamu Pande sekalian, sekarang kamu bangsa Pande, mesti nuhur tirtanya Padanda, kalau kamu tidak nuhur tirtanya Padanda, mesti kamu diusir, kalau kamu tidak tetap menjadi sudra, kamu dibuang seumur".
Tidak terbayangkan oleh angkatan sekarang betapa berat hukuman bagi orang yang hanya karena tidak mau memakai tirta Pedanda, dan tidak mau mengaku sudra, menderita hukuman diusir dari desanya dan dibuang keluar desanya seumur hidupnya.
I Tomblos melaporkan kepada Ida Made Sakra, bahwa dia menolak keputusan itu dan mohon agar diizinkan mengajukan banding kepada residen Bali dan Lombok. Menanggapi penolakan I Tomblos dan kawan-kawan dan ketekadannya mohon diperkenankan membuat surat rekes kepada Residen Bali dan Lombok, kontrolir Gianyar tidak berkeberatan dan mempersilakannya. Ditegaskan olehnya bahwa selaku Kontrolir, bersama-sama dengan raja Gianyar, mereka akan tunduk atas keputusan apapun yang akan diambiloleh Residen Bali dan Lombok.
Dilaporkan pula oleh I Tomblos bahwa pada tanggal 27 Oktober 1911, dia bersama kawan-kawannya dipanggil kembali menghadap ke Raad Kerta di Gianyar, karena Kontrolir dan Raja Gianyar mendapat perintah dari Residen Bali dan Lombok, agar kedua penguasa di Gianyar itu menelusuri asal-usul Pande Beng,apakah keturunan Mpu Aji Wesi atau Mpu Saguna.
Dalam dialog tertanggal 27 Oktober 1911 itu terjadi dialog yang sangat menarik dan mengasyikan, yang menggambarkan betapa teguhnya pendirian Pande Beng, betapa tegar dan beraninya I Tomblos dkk. Pada pemeriksaan itu Kontrolir Gianyar dan Anak Agung Ngurah, yang mewakili ayahandanya memberondong I Tomblos dengan pertanyaan: "Apakah kamu punya bangsa?", yang dijawab dengan tegas oleh I Tomblos: "Saya punya bangsa Pande Wesi".

Kontrolir dan Anak Agung Ngurah langsung menangapinya: "Meski di Badung, walaupun di Gianyar Cuma ada dua bangsa saja, Sudra dan Triwangsa, yaitu yang manakah termasuk dalam bangsamu, bangsa Sudra atau Triwangsa?". Jawab I Tomblos: "Kalau Paduka bilang Cuma ada dua bangsa, maka saya ini bukanlah Sudra".

"Kalau kamu tidak mengaku Sudra, apakah kamu Triwangsa?"Sergah Anak Agung Ngurah. Betapa cerdas dan beraninya I Tomblos tergambar dari jawabannya yang lugas: "Dari itu supaya Paduka yang kasih nama, kalau saya ini bukan Sudra".

Jawaban yang cerdas dan sangat berani itu tentu bukan sebuah debat kusir atau bebungklingan (bersilat lidah gaya Bali), tetapi benar-benar menunjukan kualitas pribadi yang mengucapkannya.

Tidak terbayangkan sama sekali bahwa pada tahun 1911, hanya tiga tahun setelah Bali dijajah Belanda, ada orang Bali yang berani berbicara lugas seperti itu kepada rajanya, dan tidaka terbayangkan pula bahwa pada jaman dimana raja masih sangat berkuasa dan otoriter, ada warga kerajaan yang berani menggugat. Sungguh sebuah keluarbiasaan.

Karena sudah terdesak Anak Agung Ngurah mengeluarkan jurus pamungkasnya untuk mematikan langkah I Tomblos dkk: "Kalau begitu kalah sudah kamu punya perkara". Dasar Pemberani I Tomblos menanggapi: "Apakah sebabnya saya kalah? Apakah dari keputusannya Sri Paduka Kanjeng Tuan Besar?". Dijawab oleh Anak Agung Ngurah: "ya, dari keputusannya Tuan Besar dan Kanjeng Tuan Kontrolir bilang juga ya dari putusannya Tuan Residen".

Palu godam keputusanpun dihantamkan kepada warga Pande Beng: "Suruh itu I Pande supaya pakai air tirta Padanda, kalau tiada mau, biarlah dipenjara". Perintah Kontrolir Gianyar kepada Anak Agung Ngurah. Anak Agung Ngurah lantas meneruskan perintah itu kepada Perbekel Beng: "Kasih tahu itu I Pande supaya pakai air tirtanya Brahmana".

I Tomblos dkk tetap tidak mau dibilang kalah: "ya kalau sudah begitu, saya akan hatur bertahu lagi, dan tidak boleh hanya dibilang kalah". Yang dimaksud dengan hatur bertahu lagi adalah akan melaporkan keputusan itu, naik banding kepada Residen Bali dan Lombok di Singaraja.

Seperti diuraikan diatas I Tomblos dkk naik banding ke Residen Bali dan Lombok, dan semua penandatangan surat rekes itu dijadikan bogolan.

Tentu saja keterangan dan laporan I Tomblos kepada Kanca Ida Made Sakra dijadikan pertimbangan oelh Residen Bali dan Lombok dalam mengambil keputusan mengenai perkara Pande Beng.

Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

Sunday, December 14, 2008

PANDE MENGGUGAT "DOKUMEN 2"

Dokumen nomor urut 2 memuat surat Pan Giyet, salah seorang penandatangan surat rekes, bertanggal 7 Agustus 1911, yang melapor kepada Sri Paduka Tuan Residen atas Pulau Bali dan Lombok mengenai adanya pemaksaan daari Dewa Manggis kepada warga Pande Beng, baik yang ikut menandatangani maupun yang tidak ikut menandatangani surat rekes tanggal 20 Mei 1911, yang isinya antara lain :

"Adapun hamba pada waktu itu , sama familie sekalian yang bertandatangan dalam surat rekes permohonan, belumlah dapat keputusan yang tentu dari perintah, melainkan ingatan hamba akan menunggu apaun putusannya, tiba-tiba pada tanggal 2 bulan ini, kebetulan hamba tiada di rumah hamba di desa Beng, tahu-tahu segala familie hamba, semuanya dihukum bogolan di Gianyar dan dengan pemberitahunya Dewa Manggis, karena ditimbang salah tiada mau memakai air tirta Pandita Brahmana."

Dalam surat tersebut diatas dapat diketahui bahwa yang dijadikan bogolan bukan hanya penandatangan surat rekes, tetapi juga warga Pande yang lain, yang tidak menandatanganinya.
Jurus bujuk rayuanpun dimainkan oleh Dewa Manggis dalam upayanya melunakan dan memupus perjuangan warga Pande sebagaimana dikemukan oleh Pan Giyet : "akan tetapi kapan-kapan mereka itu(warga Pande Beng) suka membuka bicara akan turut menggunakan air tirta Pandita Brahmana pada tempat yang perlu, Dewa Manggis sangguplah akan mengampuni dan melepaskan mereka itu dari hukumannya."

Pan Giyet bukan saja menolak bujuk rayu Dewa Manggis, tetapi langsung melaporkan tidak tanduk Dewa Manggis kepada Residen Bali dan Lombok, seperti berikut : "Mohon belas karunia Sri Paduka Kanjeng Tuan Besar Residen akan suka mengadilkan lagi kepaksaannya Dewa Manggis, supaya hamba dan familie jangan amat tertindas dari kemauannya Dewa Manggis."
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

Thursday, December 11, 2008

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 1"

Dokumen nomor urut 1 adalah surat rekes I Tomblos dkk, warga Pande asal Beng Gianyar, tertanggal 20 Mei 1911 yang "Dipersembahkan Kehadapan Tuan Besar Resident atas Keresidenan Bali dan Lombok yang bersemayam dengan kehormatan di Kota Singaraja"
Yang menaruh cap jempol pada surat rekes itu adalah I Tomblos, I Kotong, I Rawos, I Kebungan, I Juwing, I Gogot, I Punduh, I Giyet, I Didit, I Kerug, I Rat, I Nganta, I Kenting, I Sempir, I Berit, I Neteg, I Dumera, I Kumpul, I Gudut, I Dura dan I Cabong.

"Hamba rakyat Bali Hindu, bernama I Tomblos dan kula warga hamba bangsa Pande Wesi tinggal di Beng (Gianyar) mohon diampunkan oleh Sri Baginda Kanjeng Tuan Besar Resident, sebab ambil keberanian hati, menghaturkan surat rekes ini akan mengunjukan bertahu, seperti hamba nyatakan dibawah ini:
Adapun hamba ini bangsa Pande Wesi, tersebut dalam surat asal usul hamba, bahwa hamba tiada sekali-kali boleh memakai air bikinannya Padanda, pada waktu hamba bekerja selamatan apa juga, melainkan memakai air tirta di pura hamba di Beng; dan sebab ada tersebut weda, yang boleh dipakai bangsa hamba Pande Besi, menjadi dengan hal itu daari dulu dulu kala bangsa Pande Besi mendirikan Empu yaitu mewinten seperti perjalanan Padanda (brahmana), yang sekarang ini masih ada Empu di Slukadan (Bangli), juga pada Empu itulah hamba meminta air tirta buat hamba Pande Besi. Lagi diluar sebutan asal usul itu, kalau melanggar, tentu hamba akan mendapat celaka marabahaya dan lagi adat biasa menurut tersebut dalam surat babad hamba, kalau musim hamba mengaben (membakar mayit dengan selamatan) wadah itu bolehlah puncaknya pakai tumpang dibawah tumpang sebelas yaitu menurut cara bangsa satriya
"

Demikianlah I Tomblos memulai suratnya, dengan substansi yang jelas, dituangkandalam gaya bahasa yang lugas. Perhatikan penggunaan kata Hindu Bali, dan bukan agama tirta atau kata-kata lain untuk menamai agama yang dianut oleh orang Bali. Demikian pulapenggunaan kata bangsa Pande; dan bukan Sudra, karena memang Pande sejak dulu tidak mau menerima sebutan sudra atau jaba bagi mereka.

Ada tiga butir yang dimohonkan dalam surat rekes, yang aslinya berbunyi sebagai berikut :
"Maka dengan sepenuh-penuh permohonan hamba, sudilah kiranya Sri Paduka Tuang Kanjeng Resident, menguruskan perihal ikhwal hamba ini, supaya tetaplah adat hamba seperti tersebut dalam asal usul hamba, tiada memakai air tirta bikinan Padanda; kedua supaya tetaplah aturan hamba mengaben seperti sudah dijalankan biasa dari dulu kala; dan hamba mohon janganlah hamba dipaksa mengaku bangsa Sudra, biarlah hamba tetap dikasih mengaku bangsa Pande."

Sekalipun surat tersebut diatas adalah surat rekes atau surat banding atas keputusan Raad Kerta Gianyar sebelumnya yang mengalahkan warga Pande Beng, sejatinya surat tersebut adalah sebuah gugatan terbuka terhadap kesewenang-wenangan raja Gianyar terhadap Pande Beng.
Dalam surat rekesnya mereka juga menyampaikan keheranan mereka mengapa hanya mereka saja yang dipaksa memakai air tirtanya Pedanda, sementara warga Pande ditempat-tempat lain seperti di Banjar Pedel, Abianbase, di Taro, di Ked, di Apuh, di Srokadan dan tempat-tempat lainnya tidak dipaksa memakai air tirtanya Pedanda?.

PANDE MENGGUGAT Pendahuluan

Pendahuluan

Telaah singkat yang diberi judul PANDE MENGGUGAT ini dimaksudkan sebagai pengantar bagi mereka yang ingin memahami dan mendalami substansi yang terkandung dalam dokumen-dokumen yang terhimpun dalam DOSSIER KORN No. 213 LEIDEN dan dokumen lannya.

Tulisan ini disarikan dari Buku "PANDE MENGGUGAT Telaah Singkat atas Dokumentasi Masalah Pande" karya Made Kembar Kerepun (alm) selaku Penasehat Maha Semaya Warga Pande.
Selanjutnya akan disajikan per dokumen, simak terus, selamat mengikuti .........

Tuesday, December 2, 2008

bhisama Sira Mpu Galuh

Bhisama Sira Mpu Galuh (Prasati Pande Kamasan)

“Mwang panganugrahan Sira ngawe Pura Batur, panyungsungan Sira Mpu Pande, mwang pratisentanan sira Pande kabeh. Nging yan hana satereh sira Pande tan eling mwang lipya nyungsung Batur Kapandeyan, wastu ya kabeh kadi ling prasasti iki:
Lungsur kagunania, cendek tuwuh, salah krama, bingung, irsya asanak, tan surud kawigunan
Mangkane sosote sira Pande katekeng pratisentanta wekasan, aywa lupa pwa kita ajanma maring Bali pulina, anyuwita ring Sira Mpu Pande, apan sira ngardi Bhawaning Dewa, mwang manusa.

Terjemahan bebasnya:
Kemudian Beliau mengijinkan untuk mendirikan Pura Batur, sebagai tempat pemujaan Sira Mpu Pande dan seluruh keturunan warga Pande. Namun apabila ada keturunan sira Pande tidak ingat dan lalai menyungung Pura Batur Kapanddeyan ini akan menyebabkan seperti tertulis dalam prasasti ini :
Hilang semua keahlian memande, umur pendek, berubah menjadi jahat, bingung, iri hati terhadap saudara, menurun kualitas hidupnya.
Demikianlah harapan sira Mpu terhadap seluruh warga Pande beserta keturunannya kelak, janganlah lupa menjadi manusia di Bali, mengabdilah pada sira Mpu, karena Sira Mpu Pande yang menciptakan kewibawaan Dewa dan manusia.

Monday, December 1, 2008

BHISAMA KE VI

Bhisama Keenam
Tata Cara Pediksan Sira Mpu Pande

Bhisama ini mengenai tata cara pediksan warga Pande menjadi sulinggih yang kemudian bergelar Sira Mpu Pande. Diawali dengan cerita Brahmana Dwala berkeinginan menjadi sulinggih, seperti terungkap dalam banyak babad Pande. Ganti gumanti ikang kala, hana hyun ira sang Brahmana Dwala madwijati. Rinasa-nasa ring ati tan ana pinaka gurun ira. Irika Brahmana Dwala masamadi masamahita, ngastuti Bhagawan Pandya Bumi Sakti, sang sampun mur ring acintya, minta anugraha. Ring sampun lam winang ing Bhatara kawitan ira, makarya ira arca linggan Bhagawan Pandya Bumi Sakti, katekeng pralinggan strin ira Dyah Amertatma, putrin ira sang Buda. Kalinggihang ring sajeroning padmasana. Irika sang Brahmana Dwala mamujastawa, minta nugraha madwijati saha widi widana. Artinya: jaman silih berganti, setelah dewasa timbulah niat Brahmana Dwala madwijati. Rasanya tidak ada yang patut dipakai sebagai guru nabenya. Kemudian Brahmana Dwala melakukan samadhi, memuja kakeknya Bhagawan Pandya Bumi Sakti, yang telah meninggal dunia. Setelah samadhinya berhasil, lalu Brahmana Dwala membuat patung kakeknya dan neneknya Dyah Amertatma putri dari Brahamana Budha. Kedua patung itu di stana di Padmasana, kemudian dipuja dimintakan anugrah dwijati dan upacara perkawinannya.
Disarikan dari :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Provinsi Bali
Tanggal 1 Juni 2007
Di Wantilan Sri Kesari Warmadewa Mandapa
Pura Agung Besakih

Sunday, November 30, 2008

BHISAMA PANDE KE V

Bhisama Kelima
Tentang Pesemetonan Warga Pande

Bhisama kelima adalah Bhisama yang Mpu Siwa Saguna Kepada Brahmna Dwala, di Pura Bukit Indrakila, sebagai berikut; ”Mangkana kengeta, aja lali wruhakena wwang sanakta kabeh. Kita sadaya ajwa lupa ring kajaten, duk ring Yambhu dwipa turun ka Yawa dwipa, tan len Sira Mpu Brahma Wisesa kawitan sira Pande kang ana wayeng Bali-pulina. Kita mangke asanak ring Pande kabeh. Aywa ngucap ming telu, sadohe ming ro. Tan ana sor tan ana luhur, tunggal pwa witnis nguni, kadi anggan ing pang ning kayu-kayu mara jatin ira. Ana awah ana juga tan pawah. Kalingania mangkana juga kita asanak, tan dai angadol kadang. Aja amumpang laku, aywa arok ring wwang hina-laksana”. (ingatlah selalu, jang lupa dengan seluruh keluargamu. Kita tidak boleh lupa dengan jati diri, sejak dari India, sampai ke pulau Jawa, tidak lain Mpu Brahma Wisesa leluhurmu termasuk yang ada di pulau Bali. Kalian semuanya keturunan Pande. Kalian adalah sedarah daging. Jangan merasa memindon (saudara tingkat III) sejauh-jauhnya adalah memisan (saudara tingkat II). Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih tinggi. Seperti pohon ada yang berbuah ada yang tidak berbuah (bernasib baik-tidak bernasib baik). Tetapi kalian semua tetap bersaudara, tidak boleh menjual saudara. Jangan berbuat tidak baik, jangan sombong pada orang yang tidak baik.

Begitu pentingnya pesemetonan ini, sehingga banyak dijumpai dalam babad-babad Pande, salah satunya Babad Pande Besi, Pratataning Kaprajuritan Wilwatikta. Terdapat Bhisama Mpu Siwa Saguna kepada putranya Arya Kapandeyan yang disampaikan kembali kepada Lurah Kapandeyan. ”Kaki anak ingsun Lurah Kapandeyan rengwakena pawarah mami ring kita. Mangke katekeng wekas, wenang kita amretingkah wong, angamet penatak bahan, mwang pangapih, mwang papincatan, lawan tutuwangan, wenang ksatriyan putusing sanyahnyah ira kabeh, katekeng wekas. Aja arok kita, elingakena kadadenta ksatriyan. Aja adoha akadang-kadang, wenang kinumpulaken, apan mulaniya sthiti sawiji andaadi akweh. Sadoh-doh akadang, muliha andadi ming ro. Aja angangken ming tiga, wenang amisan aming rwa. Kunang yan ana pratisantan ta angangken aming tiga, yadyapin sadoh-dohnya, wong amurug anhagu ngaraniya. Kna sodan ingsun bwating upadrawa. Wastu, wastu,wastu pariwastu, kna sodan ira Bhatara Sinuhun”. (anakku Lurah Kapandeyan, dengarkanlah bhisamaku. Sekarang dan seterusnya, berhak engkau mengurusi orang. Memegang tiang penyangga, mengeluarkan aturan, menghukum dan lain-lain pekerjaan seorang ksatriya, sampai kelak dikemudian hari. Janganlah sombong, ingat dirimu adalah seorang ksatriya. Janganlah sampai bercerai berai, semuanya harus bersatu, karena asalnya adalah tunggal kemudian menjadi banyak. Sejauh-jauhnya bersaudara, paling jauh adalah memisan. Jangan mengaku memindon, tetapi memisan. Kalau ada yang mengaku memindon, apalagi lebih dari itu berarti melanggar bhisamaKu. Kena kutukanku, semoga, semoga, semoga. Semoga juga kena kutukan Bhatara Sesuhunan.

Demikian juga Mpu Siwa Saguna memberikan peringatan bagi yang melanggar pesemotan Pande. ”Kunang mwah sentanan ta apan pada madoh-madohan, pawarah juga ya katekeng wekas, didinya pada eling ring titi gegaduhan, amanggehaken kawangsan. Lamakania pada asih apadang, aja lipya kadang, kna upadrwa ingsun”. (karena keturunanKu tinggal berjauhan, ingatkan kepada mereka sampai kelak, dirinya harus ingat dengan pekerjaan, memegang teguh wangsa Pande. Haruslah saling mengasihi, jangan lupa pada pesemetonan, bila tidak kena kutukanKu).

Disarikan dari :
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV
Maha Semaya Warga Pande Provinsi Bali
Tanggal 1 Juni 2007
Di Wantilan Sri Kesari Warmadewa Mandapa
Pura Agung Besakih