Tuesday, December 16, 2008

PANDE MENGGUGAT "Dokumen 4"

Proces Verbaal, atau berita acara adalah judul dokumen nomor 4, tertanggal 15 Maret 1912. Pada tanggal itu Sang Gde Putu Griya, Sang Gede Putu Ngurah dan Sang Gde Ktut Bagus, yaitu Pedanda-Pedanda dari Raad Kerta di Singaraja diperintahkan oleh Residen Bali dan Lombok agar pergi ke Gianyar untuk bersama sama Kontrolir dan Raja Gianyar serta Pedanda-Pedanda Raad Kerta di Gianyar dan Pedanda Raad Kerta di Klungkung, guna memeriksa surat Rekes bangsa Pande Wesi dari desa Beng.
Pada pemeriksaan itu terjadi tanya jawab yang substansi tidak berbeda jauh dengan tanya jawab seperti pada pemeriksaan yang termuat dalam dokumen nomor urut 3.
Berikut dikutipkan tanya jawab yang terjadi :
Tanya : Apa betul kamu tidak mau pakai air tirta bikinannya Pedanda?
Jawab : Betul
Tanya : Apa sebabnya kamu tidak mau pakai air tirta bikinannya Pedanda?
Jawab : Oleh karena dari dulu-dulu kala kami tidak pernah pakai air tirtanya dari Pedanda, sebab kami keturunan Pande Haji Wesi, dan ada kami punya pamancangah (prasasti), disitulah tersebut kami orang tidak boleh pakai air tirta dari Pedanda"
Tanya : Kalau kamu mati dimakah kamu ambil air tirta?
Jawab : Kami minta pada Empu di Slukadan Bangli"
Tanya : Apa betul kamu waktu diturunkan ngayah heerendienst (kerja rodi) oleh Paduka kanjeng Tuan Kontrolir di Gianyar, lantas kamu mengaku bangsa Brahmana?
Jawab : Kalau mengaku bangsa brahmana tidak, kalau mengaku satria betul.
Tanya : Apa sebab kamu negaku bangsa Satria?
Jawab : Dari sebab tersebut di kami punya pamancangah kami turunan bangsa satria.
Tanya : Apa ada yang panggil kamu pakai bahasa I Dewa, Pengakan, Bagus dan Sang?
Jawab : Tidak, Cuma orang-orang pada kami memakai bahasa Jro Pande dan lagi kalau ngaben, maka wadah kami (tempat mayat) diizinkan pakai tumpang tuju oleh I Dewa Manggis. Dari itulah sebab berani kami mengaku bangsa Satria.
Menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya, apakah dia (Dewa Manggis) memberi izin kepada Pande Beng mempergunakan wadah/bade tumpang tujuh, Dewa Manggis dengan tegas menjawab "Tidak". Beliau juga menyatakan bahwa Pande adalah bangsa Kawula (Sudra).
Setelah tim bersidang, akhirnya pada tanggal 16 Maret 1912 diambil keputusan yang akan diadviskan kepada Residen Bali dan Lombok: "maka timbangan kami orang sekalian, itu orang-orang Pande Wesi tersebut boleh juga tidak memakai air tirtanya Pedanda, dimana mana saja dia mau ambil air tirta boleh, akan tetapi jikalau ada orang kaula jadi Empu (Pedanda orang kaula) kalau dia tidak unjuk bertahu pada raja dan tidak minta panugrahan (idzin) pada pandita Brahmana, maka itu Empu tidak sekali-kali boleh kasi air toya pada orang mati; maka menurut bunyinya ceritra Indraloka, jikalau Brahmana, Satria, Wesia dan Sudra jadi Pandita (Empu) lantas dia tidak unjuk bertahu lebih dulu pada raja, atau tidak minta panugrahan pada Pandita Brahmana, maka Pandita (Empu) tidak boleh mengasi air tirta pada orang yang mati sebab membikin panas negri, wajib dihukum bunuh, maka orang yang minta tirta tidak ada kesalahannya".
Sebenarnya pada mulanya Pedanda-Pedanda Raad Kerta di Gianyar tidak setuju dengan keputusan yang diambil, tetapi karena kalah suara, ketiga pedanda Raad Kerta Gianyar akhirnya menyatakan persetujuannnya.
Ada tiga butir materi yang menonjol dari pertimbangan Raad Kerta diatas :
Pertama, ternyata gelar Pedanda adalah juga gelar bagi hakim di Raad Kerta walaupun yang bersangkutan bukan berasal dari Brahmana wangsa dan tidak/belum mediksa.
Kedua, orang yang minta tirta pada Mpu tidaklah salah, yang memberi tirtalah yang salah dan wajib dihukum bunuh.
Ketiga, bahwa sulinggih (Mpu) yang tidak mendapat persetujuan Raja dan pedanda, tetapi memberikan tirta pengentas wajib dihukum bunuh adalah atas perintah yang tercantum dalam lontar Indrakila.
Fajar kemenangan bagi Pande Beng sudah mulai menyingsing.
Mengenai Lontar/Kitab Hukum Indrakila akan dibahas lebih komprehensif dalam pembahasan dokumen nomor urut 13 dan 16, karena lontar Indrakila inilah yang selalu dipakai sebagai landasan hukum oleh Raad Kerta di Bali pada jaman itu dalam upayanya meredam, mematahkan, mengalahkan dan menjatuhkan hukuman kepada warga Pande.
Kendatipun demikian karena kemajuan jaman dan karena ketua Raad Kerta adalah Kontrolir Belanda yang tidak mau begitu saja merepakan bunyi lontar Indrakila, sejarah mencatat bahwa dalam perkara memperjuangkan kesetaraan dalam bidang kesulinggihan dna mengenai hak pemakaian wadah/bade bertumpang, warga Pande keluar sebagai pemenang, kecuali dalam perkara Pande Pohmanis, yang akan dibahas lebih mendalam pada waktu menelaah dokumen nomor 13.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)

No comments:

Post a Comment