Dari dokumen nomor urut 3, yang berjudul Surat Pemeriksaan, tertanggal 30 Oktober 1911 pembaca dapat menyimak dan menikmati dialog yang sangat mengasyikan antara Kontrolir dan Raja Gianyar dengan I Tomblos. Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Ida Made Sakra, Kanca Raad Kerta di Singaraja, I Tomblos melaporkan keputusan yang dijatuhkan oleh Raad Kerta di Gianyar, yang disampaikan kepadanya pada tanggal 24 Mei 1911, sebagai berikut: "Kamu Pande sekalian, sekarang kamu bangsa Pande, mesti nuhur tirtanya Padanda, kalau kamu tidak nuhur tirtanya Padanda, mesti kamu diusir, kalau kamu tidak tetap menjadi sudra, kamu dibuang seumur".
Tidak terbayangkan oleh angkatan sekarang betapa berat hukuman bagi orang yang hanya karena tidak mau memakai tirta Pedanda, dan tidak mau mengaku sudra, menderita hukuman diusir dari desanya dan dibuang keluar desanya seumur hidupnya.
I Tomblos melaporkan kepada Ida Made Sakra, bahwa dia menolak keputusan itu dan mohon agar diizinkan mengajukan banding kepada residen Bali dan Lombok. Menanggapi penolakan I Tomblos dan kawan-kawan dan ketekadannya mohon diperkenankan membuat surat rekes kepada Residen Bali dan Lombok, kontrolir Gianyar tidak berkeberatan dan mempersilakannya. Ditegaskan olehnya bahwa selaku Kontrolir, bersama-sama dengan raja Gianyar, mereka akan tunduk atas keputusan apapun yang akan diambiloleh Residen Bali dan Lombok.
Dilaporkan pula oleh I Tomblos bahwa pada tanggal 27 Oktober 1911, dia bersama kawan-kawannya dipanggil kembali menghadap ke Raad Kerta di Gianyar, karena Kontrolir dan Raja Gianyar mendapat perintah dari Residen Bali dan Lombok, agar kedua penguasa di Gianyar itu menelusuri asal-usul Pande Beng,apakah keturunan Mpu Aji Wesi atau Mpu Saguna.
Dalam dialog tertanggal 27 Oktober 1911 itu terjadi dialog yang sangat menarik dan mengasyikan, yang menggambarkan betapa teguhnya pendirian Pande Beng, betapa tegar dan beraninya I Tomblos dkk. Pada pemeriksaan itu Kontrolir Gianyar dan Anak Agung Ngurah, yang mewakili ayahandanya memberondong I Tomblos dengan pertanyaan: "Apakah kamu punya bangsa?", yang dijawab dengan tegas oleh I Tomblos: "Saya punya bangsa Pande Wesi".
Kontrolir dan Anak Agung Ngurah langsung menangapinya: "Meski di Badung, walaupun di Gianyar Cuma ada dua bangsa saja, Sudra dan Triwangsa, yaitu yang manakah termasuk dalam bangsamu, bangsa Sudra atau Triwangsa?". Jawab I Tomblos: "Kalau Paduka bilang Cuma ada dua bangsa, maka saya ini bukanlah Sudra".
"Kalau kamu tidak mengaku Sudra, apakah kamu Triwangsa?"Sergah Anak Agung Ngurah. Betapa cerdas dan beraninya I Tomblos tergambar dari jawabannya yang lugas: "Dari itu supaya Paduka yang kasih nama, kalau saya ini bukan Sudra".
Jawaban yang cerdas dan sangat berani itu tentu bukan sebuah debat kusir atau bebungklingan (bersilat lidah gaya Bali), tetapi benar-benar menunjukan kualitas pribadi yang mengucapkannya.
Tidak terbayangkan sama sekali bahwa pada tahun 1911, hanya tiga tahun setelah Bali dijajah Belanda, ada orang Bali yang berani berbicara lugas seperti itu kepada rajanya, dan tidaka terbayangkan pula bahwa pada jaman dimana raja masih sangat berkuasa dan otoriter, ada warga kerajaan yang berani menggugat. Sungguh sebuah keluarbiasaan.
Karena sudah terdesak Anak Agung Ngurah mengeluarkan jurus pamungkasnya untuk mematikan langkah I Tomblos dkk: "Kalau begitu kalah sudah kamu punya perkara". Dasar Pemberani I Tomblos menanggapi: "Apakah sebabnya saya kalah? Apakah dari keputusannya Sri Paduka Kanjeng Tuan Besar?". Dijawab oleh Anak Agung Ngurah: "ya, dari keputusannya Tuan Besar dan Kanjeng Tuan Kontrolir bilang juga ya dari putusannya Tuan Residen".
Palu godam keputusanpun dihantamkan kepada warga Pande Beng: "Suruh itu I Pande supaya pakai air tirta Padanda, kalau tiada mau, biarlah dipenjara". Perintah Kontrolir Gianyar kepada Anak Agung Ngurah. Anak Agung Ngurah lantas meneruskan perintah itu kepada Perbekel Beng: "Kasih tahu itu I Pande supaya pakai air tirtanya Brahmana".
I Tomblos dkk tetap tidak mau dibilang kalah: "ya kalau sudah begitu, saya akan hatur bertahu lagi, dan tidak boleh hanya dibilang kalah". Yang dimaksud dengan hatur bertahu lagi adalah akan melaporkan keputusan itu, naik banding kepada Residen Bali dan Lombok di Singaraja.
Seperti diuraikan diatas I Tomblos dkk naik banding ke Residen Bali dan Lombok, dan semua penandatangan surat rekes itu dijadikan bogolan.
Tentu saja keterangan dan laporan I Tomblos kepada Kanca Ida Made Sakra dijadikan pertimbangan oelh Residen Bali dan Lombok dalam mengambil keputusan mengenai perkara Pande Beng.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)
No comments:
Post a Comment