Dokumen ini berjudul panjang: Hal-hal yang menjadikan marahnya Dewa Manggis kepada orang-orang Pande Besi di Desa Beng (Gianyar).
Seperti telah dipaparkan pada waktu membicarakan dokumen nomor 1, Pande Beng mempertanyakan mengapa hanya mereka saja yang dipaksa, sementara rekan-rekan mereka sesama Pande di desa-desa yang lain tidak dipaksa memakai air tirtanya Pedanda.
Dalam dokumen nomor urut 7 dijelasakan dengan gamblang mengapa Dewa Manggis berbuat seperti itu: "Sebarunya negeri Gianyar diaturkan oleh Dewa Manggis kepada Sri Governement, maka Paduka Tuan Schwartz, ada membikin mata-mata orang nama I Gogot, Pande Besi di Beng, dengan pengetahuannya Dewa Manggis, pekerjaannya mata-mata itu buat mencahari keterangan segala hal apa-apa didalam jajahan negeri Gianyar, istimewa pula dinegeri Bangli dan Klungkung. Lain dari pada itu, dengan sembunyi Paduka Tuang Schwartz suruh mata-mata itu menilik rusianya Dewa Manggis".
Atas jasa-jasanya sebagai mata-mata, sebagai ucapan terimaksih kepadanya, Kontroloir Schwartz memerintahkan Dewa Manggis agar memberi hadiah sebidang tanah kepada I Gogot, tetapi kemudian, tanpa sepengatahuan Kontrolir Schwartz, tanah itu dicabut kembali, "karena I Gogot diketahui oleh Dewa Manggis, bukanny mata-mata buat mencahari rusian seperti tersebut diatas saja, melainkan juga menjadi mata-mata akan menunjukkan tingkah lakunya Dewa Manggis yang kurang pantes".
Inilah alasan terpenting mengapa Dewa Manggis marah kepada Pande Beng yang dilampiaskannya melalui pemaksaan kepada Pande Beng agar memakai tirta Pedanda dan melarang Pande Beng memakai wadah/bade metumpang dan memaksa mereka mengaku sudra, disamping alasan-alasan lain yang dicari-cari, misalnya mata-mata raja melapurkan bahwa warga Pande sering membandel, menolak perintah raja.
Karena tidak tahan menghadapi keroyokan kerajaan-kerajaan yang berbatasan dengannya, maka pada tanggal 16 Januari 1900 Dewa Manggis memutuskan menyerahkan kerajaan kepada Pemerintahan Hindia Belanda, agar terbebas dari keroyokan itu.
Demi keotentikannya bersama ini dikutipkan alih aksara isi surat penyerahan itu, yang aslinya tertulis dalam huruf dan bahasa Bali sebagai berikut: "wus punika, titiang ngaturang surat, ring sawitran titiang, padagingan, titiang nguninga ring paliggih sri paduka sawitran titiang, sekadi mangkin, sawireh sagsag jagat druwen sri paduka sawitran titiang, sane kagamel antuk titiang, ring wawengku gianyar, boya kagamel antuk titiang, mungguwing mangkin, titiang ndawegang nunas tulungan ring sri paduka sawitran titiang, jagat gianyar punika, aturang titiang ring sawitran titiang, sara kenak pakayunan sawitran titiang, perentah jagat gianyar punika, sakewenten pinanas titiang ring sri paduka sawitran titiang, mangda kari teher kagambel antuk titiang, jagat gianyar punika, sekadi mangkin".
Terjemahannya: "setelah ini, saya menyampaikan surat kepada sahabat saya, isinya, saya memberitahukan kepada yang terhormat Sri Paduka sahabat saya, sekarang ini, karena rusak (kacau balau) negara milik Sir Paduka sahabat saya, yang saya pegang di wilayah Gianyar, tidak bisa saya pegang (perintah), terutama sekarang, saya dengan hormat minta tolong kepada Sri Paduka sahabat saya, negara Gianyar itu, saya serahkan kepada sahabat saya, tersebut, enaknya pikiran sahabat saya, memerintah negara Gianyar itu, tetapi, permintaan saya kepada Sri Paduka sahabat saya, supaya terus tetap dipegang oleh saya (supaya terus saya pegang) negara Gianyar itu seperti sekarang". (dikutip dari buku berjudul Bali Pada Abad XIX karya Ida Anak Agung Gde Agung).
Permohonan raja Gianyar baru mendapat persetujuan dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 8 Maret 1900, dan sejak saat itu secara resmi wilayah Gianyar berada dibawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan raja Gianyar dimakzulkan sebagai raja, dan kemudian diangkat sebagai pegawai tinggi, sebagai seorang Stedehourder (wakil) dari pemerintah Hindia Belanda di Gianyar, dibawah pengawasan seorang kontrolir.
Dari pemaparan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada waktu perkara Pande Beng, kekuasaan Dewa Manggis sebagai raja yang berkuasa mutlak telah berakhir, karena yang memerintah sebenarnya adalah Kontrolir yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Tidak terbayangkan nasib apa yang akan menimpa warga Pande Beng, seandainya perkaranya melawan Raja Gianyar terjadi sebelum Bali dijajah Belanda, ketika kekuasaan raja-raja di Bali pra penjajahan adalah sangat absolut.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)
Seperti telah dipaparkan pada waktu membicarakan dokumen nomor 1, Pande Beng mempertanyakan mengapa hanya mereka saja yang dipaksa, sementara rekan-rekan mereka sesama Pande di desa-desa yang lain tidak dipaksa memakai air tirtanya Pedanda.
Dalam dokumen nomor urut 7 dijelasakan dengan gamblang mengapa Dewa Manggis berbuat seperti itu: "Sebarunya negeri Gianyar diaturkan oleh Dewa Manggis kepada Sri Governement, maka Paduka Tuan Schwartz, ada membikin mata-mata orang nama I Gogot, Pande Besi di Beng, dengan pengetahuannya Dewa Manggis, pekerjaannya mata-mata itu buat mencahari keterangan segala hal apa-apa didalam jajahan negeri Gianyar, istimewa pula dinegeri Bangli dan Klungkung. Lain dari pada itu, dengan sembunyi Paduka Tuang Schwartz suruh mata-mata itu menilik rusianya Dewa Manggis".
Atas jasa-jasanya sebagai mata-mata, sebagai ucapan terimaksih kepadanya, Kontroloir Schwartz memerintahkan Dewa Manggis agar memberi hadiah sebidang tanah kepada I Gogot, tetapi kemudian, tanpa sepengatahuan Kontrolir Schwartz, tanah itu dicabut kembali, "karena I Gogot diketahui oleh Dewa Manggis, bukanny mata-mata buat mencahari rusian seperti tersebut diatas saja, melainkan juga menjadi mata-mata akan menunjukkan tingkah lakunya Dewa Manggis yang kurang pantes".
Inilah alasan terpenting mengapa Dewa Manggis marah kepada Pande Beng yang dilampiaskannya melalui pemaksaan kepada Pande Beng agar memakai tirta Pedanda dan melarang Pande Beng memakai wadah/bade metumpang dan memaksa mereka mengaku sudra, disamping alasan-alasan lain yang dicari-cari, misalnya mata-mata raja melapurkan bahwa warga Pande sering membandel, menolak perintah raja.
Karena tidak tahan menghadapi keroyokan kerajaan-kerajaan yang berbatasan dengannya, maka pada tanggal 16 Januari 1900 Dewa Manggis memutuskan menyerahkan kerajaan kepada Pemerintahan Hindia Belanda, agar terbebas dari keroyokan itu.
Demi keotentikannya bersama ini dikutipkan alih aksara isi surat penyerahan itu, yang aslinya tertulis dalam huruf dan bahasa Bali sebagai berikut: "wus punika, titiang ngaturang surat, ring sawitran titiang, padagingan, titiang nguninga ring paliggih sri paduka sawitran titiang, sekadi mangkin, sawireh sagsag jagat druwen sri paduka sawitran titiang, sane kagamel antuk titiang, ring wawengku gianyar, boya kagamel antuk titiang, mungguwing mangkin, titiang ndawegang nunas tulungan ring sri paduka sawitran titiang, jagat gianyar punika, aturang titiang ring sawitran titiang, sara kenak pakayunan sawitran titiang, perentah jagat gianyar punika, sakewenten pinanas titiang ring sri paduka sawitran titiang, mangda kari teher kagambel antuk titiang, jagat gianyar punika, sekadi mangkin".
Terjemahannya: "setelah ini, saya menyampaikan surat kepada sahabat saya, isinya, saya memberitahukan kepada yang terhormat Sri Paduka sahabat saya, sekarang ini, karena rusak (kacau balau) negara milik Sir Paduka sahabat saya, yang saya pegang di wilayah Gianyar, tidak bisa saya pegang (perintah), terutama sekarang, saya dengan hormat minta tolong kepada Sri Paduka sahabat saya, negara Gianyar itu, saya serahkan kepada sahabat saya, tersebut, enaknya pikiran sahabat saya, memerintah negara Gianyar itu, tetapi, permintaan saya kepada Sri Paduka sahabat saya, supaya terus tetap dipegang oleh saya (supaya terus saya pegang) negara Gianyar itu seperti sekarang". (dikutip dari buku berjudul Bali Pada Abad XIX karya Ida Anak Agung Gde Agung).
Permohonan raja Gianyar baru mendapat persetujuan dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 8 Maret 1900, dan sejak saat itu secara resmi wilayah Gianyar berada dibawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan raja Gianyar dimakzulkan sebagai raja, dan kemudian diangkat sebagai pegawai tinggi, sebagai seorang Stedehourder (wakil) dari pemerintah Hindia Belanda di Gianyar, dibawah pengawasan seorang kontrolir.
Dari pemaparan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada waktu perkara Pande Beng, kekuasaan Dewa Manggis sebagai raja yang berkuasa mutlak telah berakhir, karena yang memerintah sebenarnya adalah Kontrolir yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Tidak terbayangkan nasib apa yang akan menimpa warga Pande Beng, seandainya perkaranya melawan Raja Gianyar terjadi sebelum Bali dijajah Belanda, ketika kekuasaan raja-raja di Bali pra penjajahan adalah sangat absolut.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)
No comments:
Post a Comment