Dokumen ini memuat jawaban Asisten Residen Bali Selatan atas surat residen Bali dan Lombok di Singaraja tertanggal 11 Mei 1928 No. R14h5a, yang baru dibalas oleh Asisten Residen Bali Selatan pada bulan Nopember 1928. Dari lamanya waktu yang diperlukan oleh Asisten Residen untuk menjawab Surat Residen Bali dan Lombok, yaitu lebih kurang enam bulan lamanya, dapat ditarik kesimpulan bahwa soal yang harus ditelaah dan yang selanjutnya harus dilapurkannya kepada Residen adalah masalah yang berat atau serius.
Surat Balasan Asisten Residen berjudul "Advis Mengenai Perkara Pande" mengindikasi betapa berat bobot perkara yang harus diselidikinya secara mendalam, sebelum memberikan advis kepada atasannya, apalagi mengingat perkara-perkara Pande itu meliputi rentang waktu yang lama, yaitu dari tahun 1911 s/d tahun 1928, dan terjadi di banyak desa.
Pada awal suratnya, Asisten Residen dengan menyesal menyatakan kepada Residen bahwa dia belum sepenuhnya berhasil mengungkapkan perkara Pande yang harus dia adviskan kepadanya.
Marilah kita ikuti butir-butir yang terkandung dalam suratnya itu dengan mengutip langsung bagian-bagian yang penting-penting saja: "Menurut pendapat saya, pokok perkara terletak pada penggunaan tirta Brahmana yang ditolak warga Pande dan penggunaan tirta Mpu sendiri yang berdampak tidak boleh digunakan setiap pura, setiap pemakaman, setiap mata air, menurut aturan/sima kuno, tidak pernah akan dapat menyelesaikan perkara menyangkut warga Pande, terkecuali warga Pande dibenarkan menggunakan tirta Mpunya sendiri, di puranya sendiri, di tempat pemakamannya sendiri, di mata airnya sendiri dan lain lain".
Dari pemaparan diatas jelas dan tegas betapa kukuhnya warga Pande mempertahankan pendiriannya, kendatipun harus menanggung segala resiko yang sangat berat.
Mengenai cikal bakal Pande, menyampaikan kesimpulan sebagai berikut: "Cikal bakal Pande sudah ada sejak jaman purba, hanya tidak sepenuhnya jelas. Mereka memang terhitung dalam kasta sudra. Pada awalnya, namanya sudah menjelaskan mereka berasal dari treh para pekerja besi dan metal lainnya, yang dalam pandangan para raja sangat dihargai dan dihormati, karena keutamaan dan kepentingan karyanya. Diperkirakan karena kehormatan yang diperolehnya, mereka tidak mengakui golongan kasta sudra, dan seringkali juga memakai nama lainnya dan menyatakan diri tergolong triwangsa yang berketurunan dari Mpu Pradah".
Bagaimana pandangannya mengenai Pande Beng, yang berani berperkara melawan rajanya, Asisten Residen mengungkapkannya secara lugas, sebagai berikut: "Baru ditahun 1913 ada beberapa orang dari desa Beng yang tergolong Pande besi merantau ke Buleleng dan setelah tinggal beberapa lama disana kembali ke desanya dengan tujuan menempatkan para Pande pada kedudukan dan kekuasaan lebih tinggi. Gerakan ini berakhir dengan penghinaan karena mereka tidak memenuhi perintah-perintaha penguasa, dan tidak mengikuti kebiasaan orang lain, dan untuk perbuatan-perbuatan itu sang aktor intelektualnya yaitu I Kotong, dihukum buang (diselong) seumur hidup dan pelaku-pelaku lainnya dihukum lebih ringan. Sejak pelaku utama ini kembali (saya kira I Ktong beberapa waktu kemudian diampuni), maka para Pande di desa-desa yang lainnya juga ikut bergolak, hukuman buang berpengaruh sangat kecil".
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pande Beng lebih awal menerima pengaruh arus kemajuan jaman yang mulai berkembang di Bali Utara sebagai akibat penjajahan Belanda, yang membawa serta arus kemajuan peradaban barat di daerah jajahannya. Dibandingkan dengan rekan-rekannya semama Pande di daerah lainnya, Pande Beng yang berani merantau ke daerah lain sebagai pedagang menjajakan mata dagangannya berupa alat-alat hasil pekerjaan Pande, menyebabkan horizon mereka lebih luas dan menjadi lebih berani mengemukakana perbedaan pendapat.
Lebih lanjut dikemukan oleh Asisten Residen bahwa: "Pada jaman dulu hukuman mati sangat efektif atau berhasil lebih radikal, akan tetapi dengan ide-ide lebih moderat, maka para Pande Wesi mempunyai keberanian untuk mengemukakan beda pendapatnya. Mereka menyebar keberbagai dareah (kerajaan) menuntut bahwa treh cq. Keturunannya sebagai kasta lebih tinggi dari kasta sudra, sedangkan mereka menginginkan agar kepala dari treh mereka dianggap dan diakui sebaga Siwa-Pande atau Sulinggih. Dengan begitu mereka dianggap menentang salah satu soko guru dari agama Hindu Bali, oleh karena kesulinggihan adalah hanya haknya para Brahmana".
Selanjutnya Asisten Residen melapurkan secara singkat vonnis-vonnis Raad Kerta Gianyar mengenai masalah Pande, sebagai berikut:
1. Vonnis tertanggal 11 Nopember 1927, No. 76/a sipil
2. Vonnis tertanggal 9 Februari 1928, No. 22/sipil
3. Vonnis tertanggal 15 Juni 1928, No. 70/kriminal
4. Vonnis tertanggal 16 Maret 1928, No. 16/criminal/sipil
5. Vonnis tertanggal 6 September 1928, No. 63/sipil
Sayang sekali Dossier Korn 213 Leiden tidak ada lampiran copy dari vonis-vonis tersebut diatas, sehingga tidak jelas di desa mana terjadinya dan bagaimana tepatnya keputusan Raad Kerta itu. Asisten Residen Bali Selatan tidak juga memberikan analisis, mengapa masalah Pande terbanyak terjadi di daerah Gianyar.
Tetapi dari uraiannya mengomentari masing-masing vonis tersebut diatas dapat ditarik benang merah bahwa dalam perkara itu tuntutan warga Pande dimenangkan, dengan berbagai catatan.
Setelah melapurkan tinjauan atas vonis-vonis tersebut diatas, Asisten Residen melanjutkan lapurannya mengenai hasil kunjungannya ke desa-desa dimana terjadi perkara Pande dengan desa adatnya. Kunjungannya ke desa-desa itu bertujuan mencipatakan kerukunan antara warga Pande dengan desa adatnnya.
Yang dikunjungi adalah desa Beng, desa Kedisan, Cebok dan Pujung di Tegalalang, desa Blahbatuh, desa Maniktawang, desa Petemon, desa Pengembungan, desa Serongga dan desa Juga.
Akhirnya advisnya ditutup dengan kalimat: "Menurut pendapat saya banyaknya perselisihan yang akan menghadang antara para Pande Wesi dan para penduduk lainnya untuk sementara tidak mungkin sepenuhnya dapat dipecahkan dengan perdamaian dan tetap akan memerlukan turun tangan pengadilan atas penyelesaian secara hukum.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)
Surat Balasan Asisten Residen berjudul "Advis Mengenai Perkara Pande" mengindikasi betapa berat bobot perkara yang harus diselidikinya secara mendalam, sebelum memberikan advis kepada atasannya, apalagi mengingat perkara-perkara Pande itu meliputi rentang waktu yang lama, yaitu dari tahun 1911 s/d tahun 1928, dan terjadi di banyak desa.
Pada awal suratnya, Asisten Residen dengan menyesal menyatakan kepada Residen bahwa dia belum sepenuhnya berhasil mengungkapkan perkara Pande yang harus dia adviskan kepadanya.
Marilah kita ikuti butir-butir yang terkandung dalam suratnya itu dengan mengutip langsung bagian-bagian yang penting-penting saja: "Menurut pendapat saya, pokok perkara terletak pada penggunaan tirta Brahmana yang ditolak warga Pande dan penggunaan tirta Mpu sendiri yang berdampak tidak boleh digunakan setiap pura, setiap pemakaman, setiap mata air, menurut aturan/sima kuno, tidak pernah akan dapat menyelesaikan perkara menyangkut warga Pande, terkecuali warga Pande dibenarkan menggunakan tirta Mpunya sendiri, di puranya sendiri, di tempat pemakamannya sendiri, di mata airnya sendiri dan lain lain".
Dari pemaparan diatas jelas dan tegas betapa kukuhnya warga Pande mempertahankan pendiriannya, kendatipun harus menanggung segala resiko yang sangat berat.
Mengenai cikal bakal Pande, menyampaikan kesimpulan sebagai berikut: "Cikal bakal Pande sudah ada sejak jaman purba, hanya tidak sepenuhnya jelas. Mereka memang terhitung dalam kasta sudra. Pada awalnya, namanya sudah menjelaskan mereka berasal dari treh para pekerja besi dan metal lainnya, yang dalam pandangan para raja sangat dihargai dan dihormati, karena keutamaan dan kepentingan karyanya. Diperkirakan karena kehormatan yang diperolehnya, mereka tidak mengakui golongan kasta sudra, dan seringkali juga memakai nama lainnya dan menyatakan diri tergolong triwangsa yang berketurunan dari Mpu Pradah".
Bagaimana pandangannya mengenai Pande Beng, yang berani berperkara melawan rajanya, Asisten Residen mengungkapkannya secara lugas, sebagai berikut: "Baru ditahun 1913 ada beberapa orang dari desa Beng yang tergolong Pande besi merantau ke Buleleng dan setelah tinggal beberapa lama disana kembali ke desanya dengan tujuan menempatkan para Pande pada kedudukan dan kekuasaan lebih tinggi. Gerakan ini berakhir dengan penghinaan karena mereka tidak memenuhi perintah-perintaha penguasa, dan tidak mengikuti kebiasaan orang lain, dan untuk perbuatan-perbuatan itu sang aktor intelektualnya yaitu I Kotong, dihukum buang (diselong) seumur hidup dan pelaku-pelaku lainnya dihukum lebih ringan. Sejak pelaku utama ini kembali (saya kira I Ktong beberapa waktu kemudian diampuni), maka para Pande di desa-desa yang lainnya juga ikut bergolak, hukuman buang berpengaruh sangat kecil".
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pande Beng lebih awal menerima pengaruh arus kemajuan jaman yang mulai berkembang di Bali Utara sebagai akibat penjajahan Belanda, yang membawa serta arus kemajuan peradaban barat di daerah jajahannya. Dibandingkan dengan rekan-rekannya semama Pande di daerah lainnya, Pande Beng yang berani merantau ke daerah lain sebagai pedagang menjajakan mata dagangannya berupa alat-alat hasil pekerjaan Pande, menyebabkan horizon mereka lebih luas dan menjadi lebih berani mengemukakana perbedaan pendapat.
Lebih lanjut dikemukan oleh Asisten Residen bahwa: "Pada jaman dulu hukuman mati sangat efektif atau berhasil lebih radikal, akan tetapi dengan ide-ide lebih moderat, maka para Pande Wesi mempunyai keberanian untuk mengemukakan beda pendapatnya. Mereka menyebar keberbagai dareah (kerajaan) menuntut bahwa treh cq. Keturunannya sebagai kasta lebih tinggi dari kasta sudra, sedangkan mereka menginginkan agar kepala dari treh mereka dianggap dan diakui sebaga Siwa-Pande atau Sulinggih. Dengan begitu mereka dianggap menentang salah satu soko guru dari agama Hindu Bali, oleh karena kesulinggihan adalah hanya haknya para Brahmana".
Selanjutnya Asisten Residen melapurkan secara singkat vonnis-vonnis Raad Kerta Gianyar mengenai masalah Pande, sebagai berikut:
1. Vonnis tertanggal 11 Nopember 1927, No. 76/a sipil
2. Vonnis tertanggal 9 Februari 1928, No. 22/sipil
3. Vonnis tertanggal 15 Juni 1928, No. 70/kriminal
4. Vonnis tertanggal 16 Maret 1928, No. 16/criminal/sipil
5. Vonnis tertanggal 6 September 1928, No. 63/sipil
Sayang sekali Dossier Korn 213 Leiden tidak ada lampiran copy dari vonis-vonis tersebut diatas, sehingga tidak jelas di desa mana terjadinya dan bagaimana tepatnya keputusan Raad Kerta itu. Asisten Residen Bali Selatan tidak juga memberikan analisis, mengapa masalah Pande terbanyak terjadi di daerah Gianyar.
Tetapi dari uraiannya mengomentari masing-masing vonis tersebut diatas dapat ditarik benang merah bahwa dalam perkara itu tuntutan warga Pande dimenangkan, dengan berbagai catatan.
Setelah melapurkan tinjauan atas vonis-vonis tersebut diatas, Asisten Residen melanjutkan lapurannya mengenai hasil kunjungannya ke desa-desa dimana terjadi perkara Pande dengan desa adatnya. Kunjungannya ke desa-desa itu bertujuan mencipatakan kerukunan antara warga Pande dengan desa adatnnya.
Yang dikunjungi adalah desa Beng, desa Kedisan, Cebok dan Pujung di Tegalalang, desa Blahbatuh, desa Maniktawang, desa Petemon, desa Pengembungan, desa Serongga dan desa Juga.
Akhirnya advisnya ditutup dengan kalimat: "Menurut pendapat saya banyaknya perselisihan yang akan menghadang antara para Pande Wesi dan para penduduk lainnya untuk sementara tidak mungkin sepenuhnya dapat dipecahkan dengan perdamaian dan tetap akan memerlukan turun tangan pengadilan atas penyelesaian secara hukum.
Sumber :
Pande Menggugat
Made Kembar Kerepun (alm)
No comments:
Post a Comment