Pada jaman bahari Pulau Bali dan Lombok masih sunyi senyap, situasi dan kondisinya labil seakan akan mengambang ditengah lautan luas, diibaratkan seperti sebuah perahu tanpa pengemudi, oleng berlayar kesana kemari tidak menentu arahnya. Keadaan pulau Bali dan Lombok selalu bergoyang, kadang kadang rapat menjadi satu dan tidak jarang terpisah. Kejadian ini mendapat perhatian serius dari Bhatara Hyang Pasupati, menyebabkan Beliau kasihan dan iba hatinya melihat keadaan pulau Bali dan Lombok yang demikian. Ketika itu Beliau mengadakan penelitian untuk mengetahui factor penyebabnya, dan diketahui akibat letak gunung-gunungya tidak simetris pulau Bali dan Lombok tersebut selalu goyang. Oleh Bhatara Hyang Pasupati lalu dirinci dan ketika itu di Bali terdapat 4 gunung, yaitu disebelah timur gunung Lempuyang; disebelah selatan gunung Andakasa; disebelah barat gunung Batukaru dan disebelah utara gunung Beratan. Untuk menstabilkan pulau Bali dan Lombok tersebut, lalu Bhatara Hyang Pasupati memotong puncak gunung Semeru di jawa Timur kemudian dibawa ke pulau Bali dan Lombok.
Guna membawa potongan puncak gunung Semeru, oleh Bhatara Hyang Pasupati dititahkan Sang Badawangnala sebagai dasar bumi, sang Ananthaboga dan sang Naga Basukih sebagai pengikatnya dan sang Naga Taksaka ditugaskan untuk menerbangkan potongan puncak gunung Semeru tersebut. Tatkala menerbangkan potongan puncak gunung tersebut, ada bagian bagian yang tercecer, yang terkecil menjadi gunung Lebah (gunung Batur) sedangkan bagian terbesar menjadi menjadi gunung Tohlangkir (gunung Agung), sehingga sejak saat itu di pulau Bali terdapat terdapat sad pralinggagir (enam buah gunung sebagai parahyangan). Potongan gunung Semeru itu dibawa ke Bali pada hari Kamis Umanis wara Merakih, panglong ping 15, sasih Karo, tenggek 1, rah 1, candra sengkala Eka Tang Bhumi atau Isaka 11 (bulan Agustus Tahun 89). Kemudian sesudah 70 tahun lamanya, pada hari Jumat Kliwon wara Tolu, sasih Kalima, pananggal ping 5, rah Tenggek 13 (bulan Nopember) turun hujan disertai gempa bumi hebat selama dua tahun, yaitu tahun Isaka 113 (191 M), lagi meletus gunung Agung tersebut.Kemudian diutus Bhatara Putranjaya, Dewi Danuh dan Bhatara Gnijaya ke Bali oleh Bhatara Hyang Pasupati, sebagai junjungan rakyat Bali. Tidak diceritakan dalam perjalanan, tiba-tiba sampai di Besakih, kemudian Dewi Danuh berparahyangan di Gunung Batur, Bhatara Putranjaya atau disebut juga Bhatara Hyang Mahadewa berparahyangan di Gunung Agung, Bhatara Gnijaya berparahyangan di gunung Lempuyang. Beliau bertiga disebut Bhatara Hyang Tri Purusa. Pada waktu akan berangkat ke Bali Bhatara Hyang Pasupati berpesan : “Kamu Mahadewa, Danuh dan Gnijaya, aku perintahkan kamu segera berangkat ke Bali, agar menjadi aman dan tenang keadaan di pulau Bali dan disana kamu menjadi junjungan atau pimpinan nanti” demikian sabda Bhatara Hyang Pasupati.
Mendapat perintah demikian dari ayahNya, lalu Bhatara Hyang Tri Purusa menjawab: “Ya , Hyang Bhatara, oleh karena kami masih anak-anak, belum tahu jalan yang harus dilalui. Dijawab oleh Hyang Bhatara Pasupati : “anakku bertiga jangan susah hati, akan kutunjukan jalan, sebab kalian adalah anak anakku, berdoalah supaya kamu selamat dan segera tiba di Bali untuk dipuja disana”. Kemudian Bhatara Tri Purusa dimasukan kedalam ‘bungkak nyuh gading’ oleh Bhatara Pasupati, dan atas ketinggian bathinnya dikirim ke Besakih.
Kemudian menyusul Bhatara Tri Purusa, tiba di Pulau Bali, Bhatara Hyang Catur (empat Bhatara) juga putra Bhatara Hyang Pasupati, maka atas perintah beliau, maka Bhatara Hyang Catur, yang terdiri dari Bhatara Hyang Tumuwuh berparahyangan di gunung Batukaru, Bhatara Hyang Manik Gumawang berparahyangan di gunung Beratan, Bhatara Hyang Manik Galang berparahyangan di Pejeng dan Bhatara Hyang Tugu berparahyangan di gunung Andakasa. Demikian ikhwal tibanya Sapta Bhatara di pulau Bali pada jaman bahari.
Kemudian pada hari Selasa Kliwon, wara Julungwangi, sasih Karo, pananggal ping 1, rah 8, tenggek 1 tahun Isaka 118 (Agustus 196 M), Bhatara Hyang Mahadewa dan Bhatara Hyang Gnijaya melakukan yoga semadhi. Ketika itu meletus lagi gunung Agung tersebut, dan dari yoga semadhinya Bhatara Hyang Gnijaya banjir api, dan kemudian tempat mengalirnya banjir api tersebut dinamai Embah Api. Dari kekuatan bhatin dan panca bayunya Bhatraa Hyang Gnijaya lahir empat putra, yang sulung bernama Mpu Withadarma alias Sri Mahadewa, yang kedua SangHyang Siddhi Mantra Sakti, yang ketiga Sang Kulputih dan yang bungsu tidak disebutkan namanya kemudian menjadi raja di Madura.
Di dalam lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul, disebutkan bahwa atas perintah SangHyang Parameswara yang tidak lain adalah Bhatara Hyang Pasupati kepada putra-putranya para Dewata sekalian, terutama kepada SangHyang Gnijaya Sakti atau Bhatara Gnijaya. Perintah itu menyebutkan “…wahai anakku sekalian, kamu kuperintahkan ke Bali, agar menjadi tentram pulau Bali tersebut, dan disana kamu menjadi penguasa dan junujungan rakyat disana. Untuk tempat tinggal kamu boleh memilih gunung sebagai tempat tinggalmu, dan disana supaya kamu membangun kahyangan. Sebab di Bali sekarang sudah ada beberpa buah gunung. Adanya gunung tersebut tidak lain berkat yogaKu dahulu, dengan membawa gunung-gunung tersebut dari India, gunung yang bernama gunung Mahameru, aku potong dipertengahan sampai puncaknya, lalu Aku bawa menjadi beberapa bagian besar-kecil, sesudah aku letakkan menjadi gunduk-gunduk , kemudian menjadi gunung yang terdapat dibagian pegunungan, akibatnya menjadi tenang dan tidak bergoyang lagi pulau Bali tersebut.
Disana kamu nanti jumpai gunung terbesar yang disebut gunung Agung, terletak dibagian timur laut pulau Bali, diibaratkan gunung tersebut sebagai gunung emas berpuncak manic, berdasarkan ratna inten, berbatu mirah, berpasir podi, itulah bekas puncaknya gunung Mahameru. Potongan gunung Mahameru dulunya aku bagi menjadi tiga bagian, yang sebagian menjadi gunung Batur (gunung Lebah) sebagai dapurnya Hyang Gni, pada bagian bawahnya. Dan pada bagian bawahnya dari potongan gunung Mahameru tersebut aku jadikan gunung Rinjani di pulau Lombok, sedangkan puncaknya Aku jadikan gunung Agung disebut Hyang Tohlangkir. Dan apabila sekarang dihitung gunung-gunung tersebut dari bagian timur akan dijumpai gunung Tasashi, gunung pangalengan, gunung Mangu, gunung Silanjana, gunung Beratan, gunung Batukaru, gunung Nagaloka, gunung Pulaki, sebelah tenggaranya terdapat gunung Puncaksangkur, bukit Rangda, Teratebang, dan disebelah timur ada lagi terdapat gunung Padangdaawa. Di pantai selatan akan dijumpai gunung Andakasa, gunung Huluwatu dan terus ke timur disebelah tenggara terdapat gunung Bhyaha, gunung byamuntig dan selanjutnya terdapat gunung Seraya, begitulah banyaknya gunung-gunung yang mengitari pulau Bali, yang berjumlah 18 gunung dan masih banyak gundukan yang terdapat ditengah tengah tengah gunung tersebut di pulau Bali, yang tidak disebutkan namanya. Semua gunung itu, anakku boleh memilihnya dan kemudian dipergunakan sebagai tempat tinggal serta disana membangun parahyangan para Dewata sekalian, sebagai junjunganorang-orang Bali samapai kelak dikemudian hari. . .”. Demikian ikhwal tiba dan berdirinya parahyangan para Bhatara Hyang atau Dewata di pulau Bali. Selanjutnya para Bhatara Hyang atau Dewata tersebut berparahyangan di beberapa buah gunung dan tempat suci lainnya yang disebut terdahulu.
Adapun Mpu Withadharma alias Sri Mahadewa berputra dua orang laki-laki, masing-masing bernama Mpu Bajrasatwa atau Mpu Wiradharma dan Mpu Dwijendra atau Mpu Rajakertha. Kemudian Mpu Bajrasatwa berputra seorang laki-laki bernama Mpu Tanuhun alias Mpu Lampitha. Seterusnya Mpu Tanuhun atau Mpu Lampitha berputra 5 orang laki-laki, yang sulung bernama Brahmana Pandita atau Mpu Ketek, yang kedua bernama Mpu Semeru, yang ketiga bernama Mpu Gana, yang keempat bernama atau Mpu Kuturan atau Mpu Rajakertha, dan yang bungsu bernama Mpu Bradah atau Mpu Pradah. Mereka ini disebut dengan Panca Pandita atau Panca Tirta atau Panca Dewata, lahir di Bali, kemudian kembali ke Gunung Semeru di Jawa Timur untuk melakukan yoga semadhi memuja leluhurnya yakni Bhatara Hyang Pasupati.
Sedangkan dari yoga semadhi Bhatara hyang Putranjaya atau Bhatara Hyang Mahadewa lahir dua orang putra laki perempuan yaitu Bhatara Gana dan Bhatari Dewi Manikgeni, kemudian mereka juga kembali ke gunung Semeru melakukan yoga semadhi. Kemudian Bhatari Manikgeni kawin dengan Sang Brahmana Pandita, dan sesudah di pudlaga (dwijati) Sang Brahmana Pandita bergelar Mpu Gnijaya.
Dari perkawinan ini, Mpu Gnijaya berputra 7 orang laki-laki, masing-masing bernama Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadarma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka semuanya bertempat tinggal di Kuntuliku Jawa Timur. Mereka ini lazim disebut dengan Sapta Pandita atau Sapta Rsi dan selanjutnya menurunkan warga Pasek ( Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) di Bali.
Mpu Semeru atau Mpu Mahameru menjalani kehidupan ‘nyukla brahmacari’ yaitu tidak kawin seumur hidup. Namun demikian dari ketinggian batinnya berhasil menciptakan ‘putra dharma’ kemudian setelah dipudlaga putra tersebut bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Kamreka menurunkan warga Catur Sanak yaitu warga Kayu Selem, Celagi, Tarunyan dan Kayuan.
Mpu Ghana juga menjalani kehidupan ‘nyukla brahmacari’ sebab itu beliau tidak mempunyai keturunan.
Adapun Mpu Kuturan atau Mpu Rajakertha menjalani kehidupan ‘sewala brahmacari’ artinya selama hidupnya kawin hanya sekali, sebab ketika di Jawa, Mpu Kuturan pernah bertahta sebagai raja di Girah. Sesudah kawin beliau berputra seorang perempuan bernama Dyah Ratna Manggali, kemudian akibat perbedaan pendapat didalam mengamalkan ilmu, maka istri dan anaknya ditinggal di Jawa, istrinya dijuluki ‘walu atau rangda natheng girah’ artinya ‘janda raja Girah”
Sedangkan Mpu Bradah alias Mpu Pradah bertempat tinggal di Lemahtulis, Pajarakan Jawa Timur dan selanjutnya menurunkan warga brahmana siwa dan budha, para arya, yaitu Arya Sidemen, Arya Kuda Panolih atau Arya Kuda Pangasih, Arya Pinatih dan Arya Wayabya dengan berbagai gelar dan sebutan. Disamping itu keturunan Mpu Bradah disebut warga Satrya, Trah Dalem Klungkung, Para Gotra Santana Dalem Tarukan (sekar, pulasari, bebandem, balangan, belayu dan Dangin).
Dikutip dari buku: Prasati dan Babad Pande
Karya: Pande Made Purnajiwa
Tahun 2003
No comments:
Post a Comment